REMAS BI ITAT SURABAYA ---------------FSLDK SURABAYA RAYA--------------FSLDK NASIONAL------------Selamat tahun baru Islam 1435

Jumat, 26 Juli 2013

MENYEMAI CINTA DARI PALESTIAN


Karya Dinta Pelangi

Sinar bulan purnama turut menemani indahnya malamku yang terasa begitu sunyi. Kulirikkan mata ini pada indahnya maha karya sang penguasa alam. Ingatanku kembali merayap kemasa-masa indahku di Jogja. Bersama sanak saudaraku disana. Namun kini aku sendiri di Jakarta, tempatku mencari ilmu dan sekaligus untuk berdakwah serta menjadi seorang musafir yang ingin mencari sebuah jati diri.

Dengan ditemani secangkir coklat hangat dan beberapa bungkus cemilan, kumainkan jari jemariku diatas laptopku. Ku jelajahi dunia internet yang terkenal begitu luas. Setelah mendapatkan informasi, aku terfikir untuk membuka facebookku yang bernama “ Ukhty Riana Anggraini“ yang sudah hampir tiga minggu tidak ku update. Setelah menanggapi beberapa permintaan pertemanan, aku membuka sebuah pesan dari seorang akhwat.
“Assalamu’alaykum.wr.wb. ini Ukhty Riana Anggraini kan?”


Kebetulan dia sedang online juga, aku pun mereply pesan darinya.
“Wa’alaykumsalam, warahmatullahh. . , na’am ukh, ana Riana.”

Kemudian ia membalas
“begini ukh, ana ingin ikut jadi relawan palestina, ukhty panitia para akhwatkan?”
“na’am ukh, Alhamdulillah nambah satu mujahidah lagi nih”
“ afwan ukh, masmuki?”
“oh iya, ana Dina Alfath ukh, ana min Jakarta syarqiyyah”
“jazakallahhu khayran katsiir ya ukh atas partisipasinya, ruuhul jihad ukh!. untuk lebih lanjutnya, nanti ana kerumah anty, ini no ana, 0852468664xx, sms alamatnya ya. assalamu’alaykum”
“wa’alaykumsalam”

Memoriku kembali berputar menuju sebuah penindasan penindasan yang pernah kulihat pada saudara saudaraku. Saudara saudariku yang tengah menghadapi para zionis terlaknat dan biadab.
“Negeri para nabi, tempat para rasul
Kini tlah berubah jadi kubur
Yahudi, kau terlaknat!”
Para zionis biadab yang telah membuat anak anak kehilangn sanak saudaranya. Dan kini menjadi yatim dan piatu. Kini ragaku tengah terpatri untuk membantu mereka. Kalaupun aku harus syahid, aku ikhlas. Karena jiwaku benar benar perih melihat pedihnya penderiataan saudara saudaraku di Palestina,
“pokoknya, Palestine will be free” gumamku dalam hati.
*****

Dengan ditemani kesibukanku sebagai seorang dokter dan mengasuh sebuah panti asuhan, waktu seakan begitu cepat. Tiga hari lagi aku akan berangkat ke sebuah negeri yang sangat membutuhkan sebuah bantuan.

Surat cuti selama dua minggu telah ku ajukan pada rumah sakit yang sebenarnya adalah rumah sakit milik Ayahku yang kini diurus oleh Mas Rian, kakak kandungku. Dan kini aku tinggal meminta do’a restu pada kedua orang tuaku.
“Aby, Umy, Insya Allah tiga hari lagi Riana berangkat. Mohon do’anya ya by, my.”
“ iya anakku, insya Allah aby sama umy sudah merestuimu. Semoga Allah menjagamu dan teman-temanmu ya. Jangan lupa shalat dan berdo’alah padanya, semoga langkah kalian semua dipermudah!”
“aamiin, syukran ya by. Assalamu’alaykum warahmatullahh. . ’
“Wa’alaykumsalam warahmatullahh. . . ”
Dari perbincanganku dengan aby dan umy, aku tahu bahwa ada sebuah kekhawatiran disana. Kekhawatiran pada seorang anak “gadis” semata wayangnya.
****

Setelah persiapan selesai, aku berangkat menuju bandara bersama teman-temanku yang semenjak kemarin menginap dirumahku. Dengan menggunakan taksi hampir selama 45 menit, akhirnya kami tiba dibandara.
“afwan kami agak terlambat, jalanan agak macet.” Ucapku.
“tak apa.” Jawab seseorang dengan singkat dan tenang.
Entah mengapa, perasaanku tak karuan mendengar suara itu. Suara yang sepertinya telah lama tidak kudengar.
****

Pesawat kami mengudara tepat pada pukul tiga siang. Sungguh betapa indahnya maha karyaNya yang begitu sempurna. Yang takkan pernah tertandingi oleh siapapun, bahkan oleh seorang professor dan manusia terjenius sekalipun.
Temanku Airin nampak tertidur setelah beberapa lama ia mendengarkan murattal dari mp3 playernya. Hanya aku dan beberapa orang yang saja yang masih tak terbuai dalam sebuah mimpi. Karena kali ini aku sengaja membawa novel favoritku “ Diorama Sepasang Albanna”, yang telah kubaca berulang-ulang kali. Sebuah buku yang kurasa begitu kompleks, dan tak pernah bosan untuk dibaca. Dengannya, kunikmati perjalanan yang tenang dalam dendangan pesawat yang menabrak awan.
****

Setelah beberapa jam, akhirnya pesawat kami mendarat. Para rombongan pun segera menuju sebuah bus yang akan membawa kami menuju posko untuk para relawan. Sesampainya diposko, ritual pun dimulai dengan mandi bergantian. Selepas mandi, kami shalat berjamaah disebuah mesjid dekat posko.
“Subhanallah, indah sekali ya ukh lantunan ayat dari imam tadi.” Ucap Ratih.

Aku hanya tersenyum dan mengangguk, tanda setuju.
“tapiii, kayanya ana kenal suara itu loh ukh.” Timpal Rena sembari mengingat-ingat.
“aha, ana tau itu suara siapa.” Ucapnya lagi.
“siapa ukh?” Tanya Ratih.
“Akhy Rasyiid!” jawabnya.
“ohhh” sahutku dan Ratih beriringan.
Sehabis shalat, kamipun tertidur dengan lelapnya.
****

Pagi yang cerah nan sejuk dinaungan bumi Palestina. Namun tiba-tiba terdengar ledakan keras dari arah luar mesjid. Kami yang telah menunaikan shalat subuh berjamaah berlarian menuju keluar mesjid.
“Mungkin ini sudah waktunya, bismillahh” gumamku sembari berlari menuju seorang anak kecil yang terkapar ditanah. Aku menggendongnya menuju posko pengobatan. Seorang anak laki-laki yang menggunakan baju koko dan peci. Dari pakaiannya, aku tahu bahwa ia baru selesai shalat bersama kami. Ia menangis dan mencoba menahan rasa sakit akibat terkena ledakan. Kakinya berlumuran darah dan kemungkinan ia. . . akan kehilangan kakinya.

Aku mengobatinya dengan hati-hati, karena aku tahu ia sedang kesakitan.
“Masya Allah, kasihan sekali anak ini.” lirihku.
Kakinya diamputasi setelah dilakukan operasi selama hampir tiga jam. Dan kini, kaki kananya telah hilang tak berbekas.
“Ya Rabbi, kuatkan ia.” Do’aku.
****

Satu jam kemudian, ia siuman dan mulai membuka matanya secara perlahan. Aku segera mendekatinya dan kuberi salam padanya.
“Assalamu’alaykum warahmatullahhi wabarakaatuh.”
“wa’alaykum. . . salllam warahma. . tullahh..i wabarakaatuh” sahutnya dengan terbata-bata.

Untuk beberapa saat, ia terdiam dengan sesekali melihatku.
“maa haazha mustasfha?” tanyanya
“Na’am, haazha mustasfha!” sahutku.
Ia terdiam dan sesekali memperhatikanku yang tepat berdiri disampingnya. Kemudian ia bercerita tentang keluarga, teman-temannya, dan banyak hal. Dengan cepat kami akrab bagaikan sepasang saudara. Darinya, aku tahu bahwa ia telah kehilangan sanak saudaranya. Dari ayah, ibu, kemudian adiknya yang bernama Aisyah. Bahkan hampir saja kuteteskan air mataku dihadapannya. Tapi aku tak tega menangis dihadapannya hingga akhirnya kutahan air mata ini agar tetap terjaga diperaduannya.

Setelah ia selesai bercerita, aku menawarinya untuk makan siang.
“ Anta jai’?” tanyaku dengan tersenyum padanya.
Ia tersenyum dan mengangguk. Akupun menyuapinya hingga akhirnya ia tertidur dalam dekapanku.
#####

Tanpa setahu Riana, ada seseorang yang sedang memperhatikannya dibalik dinding yang cukup transparan. Sesosok manusia itu adalah seorang ikhwan tampan yang bernama Rasyid Fikri. Seseorang yang semenjak di LDk dulu mengagumi sepak terjang Riana. Namun ia tak pernah mempunyai kesempatan untuk mengatakan maksud hatinya pada murabbi Riana. Karena begitu sibuknya ia dalam memimpin LDK sekaligus kuliah dan bekerja. Hingga akhirnya ia diwisuda dan lulus kuliah.
Hari demi haripun berlalu hingga akhirnya tepat satu tahun semenjak ia tak pernah melihat Riana lagi. Ia berjumpa kembali dengan Riana di Rumah sakit, tempat Ibunya dirawat karena penyakit diabetesnya dan Rianalah yang merawat Ibunya. Bahkan Ibunya menyukai sosok dokter muslimah seperti Riana. Yang begitu anggun dengan jilbab besarnya. Ujung-ujungnya, ia kembali meminta Rasyid untuk segera menikah dan mencari isteri seperti Riana.
“Rasyid, Ibumu ini sudah tua dan sakit-sakitan, Bapakmu sudah nda ada, usahamu sudah punya banyak cabang, adikmu sudah hampir lulus kuliahnya. Umurmu juga sudah 28 tahun, sudah waktunya untuk melengkapi separuh agamamu…” jelas ibunya.
Rasyid hanya terdiam dan merenungi apa yang dikatakan Ibunya.
####

Tanpa terasa, sudah tiga hari Riana dan teman-temannya di Palestina. Riana semakin akrab dengan masyarakat disana yang sungguh ramah. Ia membantu mengobati para korban yang terluka, ia mengajak anak-anak bermain, dan mengajari mereka tentang banyak hal. Namun tiba-tiba terdengar ledakan yang semakin lama semakin terdengar mendekat. Dengan sigap, ia membawa anak-anak itu menuju tempat berlindung dengan menggendong dan menggandeng tangan mereka satu persatu. Mereka menangis dan sesekali menyemarakkan kalimah Allah. Namun tanpa sepengetahuan Riana, ada seorang pria berkaos hitam dan bertopeng mengintainya dari kejauhan dengan sesekali berjalan mendekatinya. Dan tiba-tiba. . .
“dorrr!!”
Terdengar bunyi tembakkan dengan keras dari belakang yang beriringan dengan teriakan Airin. .
“ka Riana. . .awas!!”
Riana terjatuh dan seorang anak dalam dekapannya menangis. Tembakkan itu tepat mengenai kaki kanannya yang berusaha berlari menuju tempat untuk melindungi anak-anak yang ketakutan.

Melihat Riana terjatuh, Airin segera meminta pertolongan dari teman-temannya. kemudian datanglah Erna, Nadia, Aisyah dan Rina. Mereka membawanya kesebuah tenda khusus untuk mengobati korban yang terluka. Darah segar terus menetes dari kakinya sedangkan ia tak sadarkan diri untuk beberapa saat. Hingga beberapa jam kemudian, akhirnya Riana siuman. Dengan perlahan-lahan ia buka matanya yang telah beberapa jam tak terbuka.
“afwan ya ukhty kalau ana merepotkan antum” ucapnya pelan.
“gak papa ko ukh, gimana keadaan ukhty?” jawab Nadia dengan lembut.
“Alhamdulillah sudah enakan ko, insya Allah ana sudah gak papa.” Jawab Riana.
“ya sudah, anty istirahat saja dulu. Semoga cepat sembuh ya ukhty.” Do’a teman-temannya.
“aamiin” ucap mereka serentak.
****

Lima hari kemudian, Riana dan relawan lain kembali menuju Indonesia. Setelah beberapa jam menempuh perjalanan, akhirnya mereka tiba dibandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Para keluarga mereka juga telah menunggu kedatangan mereka disana. Dengan sedikit tertatih, Riana menuju kedua orang tuanya yang telah menunggunya. Terlihat gurat-gurat kerinduan dan kekhawatiran disana.
“Masya Allah Na, kakimu kenapa to nduk?” Tanya Ibunya, khawatir.
“Kaki Riana gak kenapa-napa ko umy, Cuma sakit sedikit saja.” Jawabnya dengan tersenyum dan mengajak kedua orang tuanya untuk segera menuju restoran.

Sesampainya direstoran, tanpa sengaja mereka bertemu dengan teman lama Ibunya.
“Hai jeng, ngapain disini?” ucap seorang Ibu-ibu dengan seorang anak kecil disampingnya.
“ini, habis jemput Riana.” Jawab Ibunya, seadanya.
“oh..ini Riana….? Yang seumuran sama anak saya Lisa kan?” Tebak Ibu itu.
“iya.” Sahut Ibu Riana dengan tersenyum.
“loh, suaminya ko gak jemput?” Tanya Ibu itu lebih detail.
“anak saya belum menikah Ci, ini cucumu ya? Putrinya Lisa?”
“belum nikah jeng? Umurnya sudah 26 to? Wah bisa-bisa gak…”
“Bu, makanannya keburu dingin tuh. Ayo dimakan dulu.” Ucap Riana, mencoba mendinginkan suasana.
****

Seminggu setelah kepulangan Riana dari Palestina, budenya datang kerumahnya.
“to the point aja ya Na, sebenarnya bude kesini untuk mengantarkan berkas ta’aruf untukmu.”
“ha? Si…siapa bude?” koment Riana dengan tergagap.

Karena ia hampir tak percaya mendengar ucapan yang baru saja disampaikan padanya.
“Namanya Rasyid Fikri Na, dua hari yang lalu dia meminta tolong pada Pamanmu untuk mencarikannya calon isteri. Setelah Pamanmu bilang bahwa kami memiliki keponakan yang belum menikah dan kami berikan berkas ta’arufmu, dia langsung menyetujuinya Na.” jelas budenya.
“a..apa? Rasyid Fikri?” Tanya Riana, tergagap.
“iya, insya Allah dia adalah lelaki yang baik, sopan, bertanggung jawab, mapan, dan insya Allah sholeh..” jelas Budenya lagi.
“Insya Allah..Riana mau bude.. !” ucapnya, mantap.
****

Riana terkejut melihat siapa yang berada dibalik pintu yang ia buka.
“wa’alaykumsalam warahmatullaahh.. silahkan masuk. Saya panggil Bapak sama Ibu dulu ya Pak, Bu. Silahkan duduk dulu..” pintanya
Riana hanya terdiam dikamarnya dengan sesekali mendengarkan pembicaraan dua keluarga yang sedang merancang masa depannya.
****

Tiga minggu berlalu….

Akhirnya, hari yang telah ditunggu-tunggu telah menjemput Riana yang kini tengah berdebar-debar hatinya. Hatinya gelisah, rasa takut dan bahagia bercampur padu. Hingga tepat pukul 8 pagi, Rasyid dan keluarganya tiba dirumahnya. Acarapun dimulai setelah 15 menit kemudian. .
“saya terima nikah dan kawinnya, Riana Anggraini binti Ahmad Yani dengan maskawin sebuah tasbih mutiara dan seperangkat alat shalat dibayar tunai!!” ucap Rasyid dengan lantang, mantap dan tenang.
“bagaimana para saksi?”Tanya penghulu.
“sah!!” ucap semua saksi.
“barakallahhulakuma wa baraka’alaykuma bikhayr. . .” do’a penghulu yang menikahkan.
 
Riana menangis bahagia dikamarnya, mendengar sebuah perjanjian yang diucapkan oleh seorang laki-laki yang kini telah sah menjadi suaminya. Sebuah perjanjian yang dimana arsy-pun ikut berguncang karena beratnya perjanjian yang dibuat olehnya didepan Allah, dan dengan disaksikan para malaikat dan manusia, kini mereka telah sah menjadi sepasang suami isteri.
Pohon-pohon menjadi saksi bisu pertautan cinta mereka. Sebuah cinta yang telah lama terpendam didasar hati yang teramat dalam. Tak ada satupun orang yang tahu selain mereka dan Allah tentunya. Kini, biarkan mereka menyemai benih-benih cintanya menjadi cinta yang sempurna karenaNya. . .
The End

PROFIL PENULIS
Nama pengarang : Hanida Ulfah
Nama Pena : Dinda Pelangi

"Sekarang, aku hanya mampu tuk tuliskan sebuah mimpi dan mimpi. . 
tapi nanti. . 
kan kugapai mimpi mimpiku
dan kugenggam dengan seerat-eratnya. . .
dan kan kuraih indahnya mimpi yang nyata. . ."
Dinda pelangi

Kamis, 25 Juli 2013

SAFINAH MAHABBAH

Oleh M. Zuhri Ni'am

“Allahu Akbar… Allahu Akbar!”
“Allahu Akbar… Allahu Akbar!”
Alunan Adzan membahana di seluruh penjuru Kota Pontianak khususnya di Jalan Sepakat II yang memiliki beberapa masjid dan surau. Tidak terkecuali pula Surau Umar milik Asrama Mahasiswa Kabupaten Kubu Raya. Sosok-sosok bernyawa tergeletak tak beraturan di depan Televisi. Sungguh dua pasang mata mereka bak di lem hingga mereka tak mendengar alunan indah dari Khozin yang menyeru untuk menghadap kepada sang Ilahi. Udara pagi terasa menelusuk tulang hingga mendorong tepi mataku untuk menarik semua bagian mata agar terpejam kembali. Gerak tubuhku juga turut menyempurnakan posisi tidurku agar semakin terasa nyaman. Musim hujan ini memang membuat aku selalu terlena dalam kenikmatan tidur. Cuaca dingin memaksaku untuk bermalas-malasan menghadap kepada Sang Pencipta.
”Asyhadu anlaa ilaaha illalloh…!”
”Asyhadu anlaa ilaaha illalloh…!”

Safinah Mahabbah
Seruan itu semakin terdengar di telingaku. Akhhh, terasa berat sekali mataku ini. Seluruh badanku terasa lelah setelah semalaman mengerjakan tugas Evaluasi Pembelajaran yang harus kukumpulkan hari ini. Aku berusaha mengunci lagi kedua mataku, aku hendak terbang lagi ke alam kenikmatan.
“Asyhadu annaa muhammadar rasululloh ….!”

Akhirnya badanku ku angkat, berusaha untuk bangun, mataku ku celek kan agar tidak terkatup lagi. Ku langkahkan kakiku menuju pintu kamar, kemudian menuju kamar mandi untuk mensucikan diri guna menghadap kepada sang ilahi. Kesejukan semakin menjalar ke seluruh tubuhku tatkala air mulai membasahi tangan dan mukaku. Walaupun dalam suasana dingin mencekam, sebagai seorang muslim aku harus tetap menjalankan kewajibanku. Memang terkadang aku sering menunda dalam melaksanakan sholat, tetapi aku selalu berusaha untuk sholat di awal waktu agar lebih utama. Alhamdulillah, sekarang aku hidup di lingkungan yang taat dalam menjalankan sholat. Bisa dibayangkan bagaimana jika aku hidup di luar asrama, mungkin aku sering meninggalkan sholat karena tidak ada teman yang mengingatkanku. Aku bersyukur bisa tinggal di asramaku tercinta Asrama Mahasiswa Kabupaten Kubu Raya.

Perkenalkan namaku Amri. Aku seorang mahasiswa di salah satu perguruan tinggi di Kota Pontianak. Aku juga salah seorang putra daerah yang akan turut berjuang untuk Kubu Raya yang terdepan dan berkualitas bersama organisasi yang aku banggakan yaitu Primaraya (Perhimpunan Mahasiswa Kabupaten Kubu Raya).

Dalam hal lain, Aku juga bersyukur mempunyai kekasih yang selalu mengingatkanku tentang sholat. Sebut saja Zuhriyah. Zuhriyah juga seorang mahasiswi di salah satu perguruan tinggi di Kota Pontianak. Gadis solehah ini mengontrak bersama keluarganya di Jalan Sungai Raya Dalam. Dia adalah seorang gadis yang cantik, baik fisiknya maupun hatinya. Zuhriyah memang wanita yang taat beragama, dia tidak pernah absen untuk selalu mengingatkanku sholat. Terkadang aku berfikir jika kehilangan Zuhriyah dan teman-teman di asrama, apakah aku masih bisa menjaga sholatku. “Akhhh, semoga itu tidak terjadi” gumamku dalam hati.

Fajar semakin menyingsing sempurna, keindahan pagi ini tidak sebanding bahagianya aku mencintai Zuhriyah. Mungkin karena itulah Allah sering menegurku. Aku sering merasa kurang sehat. Setiap hari hati ini selalu mengingat Zuhriyah, karena dia adalah wanita yang sangat ku cintai. Wanita itu memiliki ruang yang sangat besar di hatiku. Sedangkan Tuhan tidak begitu besar. Sehingga Tuhan sering menegurku. Mungkin karena Tuhan cemburu karena aku lebih mencintai makhluknya daripada mencintai Allah. Seharusnya cinta ku pada Zuhriyah tidak sebesar cintaku pada Allah.

Seperti biasa, aku bercakap-cakap dengan Zuhriyah melalui SMS sambil menunggu Bibi si penjual kue datang. Karena aku selalu sarapan kue yang setiap pagi berjualan keliling. Asrama Mahasiswa Kubu Raya salah satu tempat persinggahannya.
“Kue Kue “ Dengan alunan suara nan mengayun-ayun itulah yang selalu terdengar ditelingaku tatkala jam sudah menunjukan kira-kira pukul 06.30 menit. Aku masih tetap sms an dengan Zuhriyah. Aku sangat menyayanginya.
“Assalamu’alaikum, Selamat Pagi sayang !” sms ku terhadap Zuhriyah sambil senyum-senyum sendiri.
“Waalaikumsalam, Pagi juga, kuliah nggak hari ini mas ?” sambil makan kue ku baca sms dari wanita pujaanku ini.
“Kuliah, bentar lagi, sekarang lagi makan kue nih. Sayang mau nggak ?” kutambahkan emotion senyum untuk memperindah sms ku kepadanya.
“Owh, nggak kuliah nih, nggak ada dosen, mungkin nanti ke pasar sebentar. Gag mau ah, masih kenyang, karena tadi udah makan indomie. Jadi sekarang ngantuk lagi. Hehe “ ujarnya. Aku bisa menebaknya, makanan mahasiswa kalau tidak tempe tahu, telur goreng, ya mie … hehe
”Ya udah, tidur aja deh, Mas mau berangkat kuliah dulu ya. Jangan lupa sarapan nasi ya. Baik-baik di rumah.” Kataku sambil mengemaskan bukuku yang akan kubawa ke kampus. Aku begitu menyayanginya. Bahkan aku berniat untuk menikahinya jika aku sudah lulus kuliah. Dia lah wanita satu-satu nya yang sangat kucintai. Aku tak ingin berpisah darinya. Aku tahu kalau pacaran itu di larang dalam agama, tapi aku sudah terlanjur cinta. Aku tidak mau kehilangan dirinya, kalau aku memutuskan hubungan pacaran dengan Zuhriyah sampai-sampai cintaku padanya sangat membutakan hatiku untuk berfikir lebih realistis hingga cinta tersebut melebihi cintaku pada Allah Swt. “Akhhhh,,, sungguh keterlaluan diriku ini ….” Pikirku dalam hati sambil mengusap keningku.

Kehidupanku dan Zuhriyah bagai dua sisi mata uang yang terkadang berubah-ubah. Sedih dan dan senang. Dari sisi ekonomi aku memang seorang pemuda yang miskin. Makan saja hanya berlauk tempe, kadang juga hanya dengan telur goreng. Tetapi aku sudah merasa cukup dengan kehidupan ku sekarang. Aku bersyukur kepada Allah.

Orang tua ku sudah menunjukan kalau mereka merestuiku dengan Zuhriyah. Begitu juga dengan orang tuanya. Kami juga sudah sama-sama saling mencintai. Saat itu tidak ada lagi wanita yang sanggup mengisi ruang hatiku karena ruang tersebut sudah dipenuhi oleh benih-benih cinta milik Zuhriyah. Aku sungguh bahagia. Tetapi aku sering berfikir, aku sekarang sangat mencintainya, belum tentu dia akan menjadi istriku. Sedangkan karena cintaku pada Zuhriyah membuat aku sedikit melupakan Allah dan melanggar ketentuan agama. Zuhriyah juga pernah bilang agar kita tidak pacaran dulu, namun aku selalu menolaknya karena aku takut kehilangan dirinya.
“Ya Allah, berilah hamba-Mu ini petunjuk. Apa yang seharusnya hamba perbuat ? Hamba sangat mencintainya, namun apakah dia jodoh hamba kelak ?” itulah Do’a ku yang selalu ku ucapkan setiap hendak memejamkan mata di malam hari. Aku sadar akan kekeliruanku saat ini. Tapi aku bingung harus berbuat apa.

Tak lama setelah aku pulang kuliah, awan yang sendari tadi mendung, kini berubah dingin. Hujan lebat mengguyur, ditingkahi cahaya kilat nan menyala-nyala yang menerangi langit hitam pekat. Rumput-rumput di depan Asrama Mahasiswa Kubu Raya tampak tidak kuat menahan terpaan angin, seluruh daunnya, batangnya, bergoyang keras bak Ratu Goyang Dangdut Inul Daratista yang sedang bergoyang di atas panggung.
“Tiang listrik! Tiang listrik!,” tiba-tiba Susandi menunjuk-nunjuk ke depan sambil mengaruk-garuk perutnya yang kurus. Matanya menunjukan rasa cemas yang berlebihan. Tampak tiang listrik di depan asrama kami memercikkan api, kabelnya turun, mengendor. Semua menahan nafas, takut akan terjadi kebakaran.
“Harvest nya kebakar nggak ya ?” Tiba-tiba Prasetyo menyeletuk dengan raut muka yang tampak tegang disertai dengan tetesan air mata menyusuri tiap lekuk-lekuk mukanya.

Dengan raut muka yang masam dan tampak marah sehingga tulang pipinya kelihatan. Bang Handri memarahi Prasetyo sambil tangannya yang kurus menunjuk ke muka Prasetyo.
“Husss, sempat-sempatnya kamu ngurusi harvest dalam kondisi kayak gini. Minum Fruit Tea aja sana di dalam kamar” Ujarnya. Mendengar kata-kata bang handri, Prasetyo langsung menunjukan muka yang ciut.
“Ya Allah, selamatkan kami ! Selamatkan kami !” Syahadat mulai terisak, menangis deras, ketakutan teramat sangat seolah mencekik lehernya hingga ia setengah mati menahan lehernya yang tersengal-sengal.
Susandi, Prasetyo, Bang Handri dan Syahadat adalah teman-temanku di asrama yang saat itu berada di asrama. Mereka juga terlihat kecemasan yang amat hingga kedua kelopak mata mereka kelihatan membesar disertai dengan melelehnya cairan dari mata mereka.

Badai telah berlalu hanya dalam hitungan menit, namun telah berhasil membuat kami panik. Asrama kembali tenang. Tiang listrik sudah tidak menunjukan kemarahanya kepada kami. Namun angin berhasil memporak-porandakan beberapa baliho dan papan reklame, serta menerbangkan beberapa atap rumah kost, termasuk atap Asrama Mahasiswa Kabupaten Kubu Raya.

Aku teringat akan Zuhriyah, dia tadi pergi ke pasar dan belum pulang ke rumahnya. “Semoga tidak terjadi apa-apa padanya Ya Allah” aku merasa khawatir karena hujan begitu deras menyerang Kota Pontianak. Rembesan air di dinding turut menjadi saksi bisu kekahwatiranku pada Zuhriyah pada siang itu.

Begitu hujan reda, Datanglah Nuryadi dengan basah kuyup dan raut muka seperti terkoyak-koyak masuk ke dalam asrama sambil menendang-nendang tembok dekat tangga. Samar-samar ku dengar bahwa ada kecelakaan antara sepeda motor dengan truk di Jalan Ahmad Yani I. Aku khawatir sekali terhadap keselamatan Zuhriyah. Kekhawatiranku memuncak ketika Zuhriyah tidak membalas SMS ku yang menanyakan kabarnya apakah sudah sampai di rumah apa belum. Dengan raut muka harap-harap cemas, kustarter vega lusuh milik ku, mesin berbunyi halus, tanpa konsentrasi yang penuh, ku tancap gas dan motorku melaju dengan kencang menuju lokasi tempat kecelakaan tersebut. Samar-samar kulihat wanita berjilbab tergeletak penuh darah di samping truk yang menabrak.

Aku terhenyak. Kaget lapis kuadrat plus kebingungan di sela-sela kerumunan orang dipinggir jalan tatkala ku saksikan dari agak kejauhan yang tertabrak cirri-cirinya mirip sekali dengan Zuhriyah.
“Sayang…, kamu baik-baik saja kan? Keringatku bercucuran tatkala wanita yang tergeletak tersebut ternyata Zuhriyah. Air mata menetes di pipiku membasahi seluruh tubuhku, seakan bermandikan air mata. Tak tega nya hati ku melihat wanita yang kucintai tergeletak tak berdaya di pinggir Jalan Ahmad Yani depan Kantor Gubernur Kalbar ini.
“Ssst, cukup, jangan banyak bicara dulu. Kita akan ke rumah sakit,” ujarku memarahi salah seorang pria yang selalu bertanya siapa diriku dan dimana keluarganya. sambil menciumi kepalanya ku bopong dia ke dalam ambulan menuju rumah sakit umum dr. Soedarso Pontianak. Aku sudah lupa bahwa dia bukan muhrimku, tetapi yang ada dalam pikiran ku saat itu hanyalah menolong dan menolong sang pemenuh ruang hatiku.
“Sayang…, sabar yah! Sebentar lagi kita sampai.” Aku terus menggenggam erat tanganya.
“Mas! Jangan sampai kamu meninggalkan shalat ya !, Aku tidak apa-apa koq mas.” Itulah kalimat yang ku dengar dari mulut mungilnya. Suara yang terpatah-patah membuatku mengeluarkan keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Aku menggigil. Perasaanku tak karuan bercampur bangga karena di sela-sela kritis dia masih mengingatkan diriku akan kewajibanku sebagai seorang muslim.
“Iya Sayang insyaallah, tapi Adek jangan tinggalkan mas ya …” Suaraku bergetar bagaikan kesetrum listrik sambil mengusap darah yang menempel di pipi tembemnya.

Dengan mata terlihat sayup-sayup Zuhriyah mengerang kesakitan. “Mas, sakit…. Adek tak kuat lagi …. Maafkan adek mas …” Ungkapnya.
“Sabar ya, kita sudah sampai di Rumah Sakit … Adek pasti sembuh … Sabar sebentar ya sayang …” Aku mencoba menenangkan dirinya. Aku tak tega melihat Zuhriyah dalam keadaan kritis. “Ya Allah, sembuhkanlah kekasihku ini, Jangan ambil dia dariku Ya Allah …”
Sayang, aku mencintaimu. Meski dingin terus menerjang, awan berubah hitam, dan mataku lembab. Aku tetap mencintaimu. Sangat mencintaimu. Aku tak mau kehilangan dirimu sayang.

Ketika hendak diturunkan dari mobil ambulan, Aku menangis tak karuan tatkala menyaksikan Zuhriyah sudah tergeletak tak menghembuskan nafas dalam mobil ambulan. Suster yang berada di sampingnya sudah memastikan bahwa Zuhriyah sudah meninggal dunia. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Aku bagaikan mayat hidup saat itu. Urat nadi masih berdenyut tetapi tidak bisa berbuat apa-apa lagi.

Dengan menggunakan ambulance yang tadi, aku langsung membawa Zuhriyah ke rumahnya yang berada di Jalan Sungai Raya Dalam. Aku kemudian menghubungi orang tuanya karena sejak tadi aku belum sempat menghubunginya. Serasa tulang-tulang rusuku remuk menyaksikan wanita yang memenuhi ruang hatiku ini tak menghembuskan nafas lagi.

Tatkala sampai di rumahnya, orang tua Zuhriyah menyambutnya dengan teriakan histeris menyaksikan anak bungsunya sudah menghadap sang Ilahi. Mataku sudah tak bisa terbendung lagi untuk memuntahkan lahar dingin yang tak pernah habis-habisnya. Entah sudah berapa liter lahar dingin yang ditumpahkan oleh kedua mataku ini. Dengan kondisi yang lemah, ibunya memeluk anaknya dengan erat seakan tak rela atas kepergian Zuhriyah yang dianggapnya terlalu cepat.
“Tuhan, kini wanita yang kucintai telah pergi untuk selamanya. Dia telah kembali kepada-Mu. Terimalah dia di sisi-Mu ya Allah …” ujarku di samping makam wanita yang kucintai itu. Pelan-pelan air mata ini kembali membasahi pipiku yang tembem ini. Tulang ini rasanya sudah tak bersum-sum lagi, otot-otot ini serasa tak mempunyai kekuatan untuk menggerakkan seluruh anggota tubuhku. Tak tergambarkan kesedihanku pada saat itu.
“Aku berjanji akan mengingat kata-kata terakhirmu, Insyaallah aku akan menjaga shalatku, terima kasih atas semua nasehatmu kepadaku sayang. Kehadiranmu di sisiku membawa banyak perubahan walaupun karena besarnya cintaku padamu, aku sedikit melupakan Tuhan. Tapi itu salahku, bukan salahmu. Engkau wanita yang solehah.”

Kini aku sadar, cintaku kepadanya selama ini sangat berlebihan melebihi cintaku kepada Allah Swt. Allah sangat menyayangi hambanya. Mungkin dengan Allah mengambil Zuhriyah dan menjauhkannya dariku, bisa membuat diriku semakin mendekatkan diri kepada Allah. Aku memang salah, seharusnya aku tidak terlalu mencintainya sebelum aku menikah dengannya. Aku juga seharusnya tidak berpacaran, karena itu sangat di larang dalam Agama Islam.
“Huh, Menyesal sungguh tak ada gunanya.” Gumamku dalam hati sambil memejamkan kedua bola mataku yang tak henti-hentinya mengucurkan air mata.
Aku bersyukur, dibalik semua ini ternyata ada hikmahnya. Sekarang aku tidak lagi memikirkan cinta dunia, terutama kepada makhluk Allah. Aku kini lebih focus kepada Kuliahku dan Aku juga sudah tidak membuat Tuhan cemburu karena aku sudah tidak lebih mencintai makhluk-Nya daripada mencintai Allah Swt. Mungkin jika ini tidak terjadi, aku akan tetap terbuai dalam cinta dunia, mungkin ruang di hatiku akan sedikit untuk Allah. Sehingga aku selalu terjajah oleh cinta seorang wanita yang bukan muhrim yang pada akhirnya menguasai diriku.

Aku akan selalu berusaha menjadi laki-laki yang baik, agar kelak mendapatkan wanita yang baik-baik pula seperti Zuhriyah yang kini sudah tenang di sisi-Nya. Namun aku tak mau berpacaran, aku takut kepada Allah, karena kini aku tahu pacaran adalah hubungan yang tidak diridhoi Allah. Aku yakin Allah akan menunjukan jalan kepada ku akan kehidupanku selanjutnya.

Setelah berpisah darinya, aku semakin mengerti arti cinta. Cinta yang hakiki hanya kepada Allah. Sedangkan cinta kepada makhluknya hanyalah sementara. aku tidak boleh mencintai makhluk-Nya melebihi cintaku kepada-Nya. Aku berdoa agar kelak aku dapat mencintai seorang wanita yang cintanya kepadaku tidak melebihi cinta-Nya kepada Allah.

Sesungguhnya apa yang kita anggap baik belum tentu baik menurut Allah. Begitu juga sebaliknya, apa yang kita anggap buruk, belum pasti buruk menurut Allah. Kita harus yakin, Allah pasti mengetahui apa yang terbaik buat hamba-Nya. Yang harus kita lakukan sebagai hamba Allah hanyalah Berdo’a, Usaha, Ikhtiar, dan Tawakal.

Musibah ini kunamai nahkoda, Zuhriyah kunamai perahu. Aku adalah penumpangnya. Perahu akan turut kemana nahkodanya pergi. Nahkoda akan mengarahkan kemana perahu tersebut pergi. Perahu itu membawa sang penumpang ke sebuah tempat yang dapat membuat sang penumpang lebih dapat mendekatkan diri kepada Allah, walaupun harus mengorbankan dirinya terhempas oleh hentaman ombak di lautan. Perahu itu kunamai “Safinah Mahabbah” (Perahu Cinta). Karena perahu tersebut telah mengorbankan diri serta cintanya untuk keselamatan penumpangnya serta kembali kepada cinta yang hakiki yaitu cinta kepada Allah, Rasul, serta jihad di jalan Allah. Semoga Bermanfaat !

*** TAMAT ***

PROFIL PENULIS
Nama : M. Zuhri Ni’am
Nama Pena : Syaifuddin Zuhri

RAMALAN BINTANG

“Percaya sama ramalan bintang?? Uh, gak banget, deh!”

Dini memang paling tidak percaya dengan yang namanya ramal meramal. Apalagi ramalan bintang. Dia suka keki kalau melihat kedua sohibnya baca majalah, pasti rubrik zodiak yang pertama kali mereka baca. Mending kalau hanya sekedar iseng-iseng saja… nggak jarang, mereka bener-benar terpengaruh dengan isi ramalan di majalah yang dibacanya.
Ami, sobat Dini yang sebangku dengannya pernah nangis-nangis hanya gara-gara membaca isi ramalan di salah satu majalah remaja yang mengatakan, ‘Kekasihmu punya affair dengan wanita lain’. Lain lagi dengan Margi, sahabat Dini yang duduk di belakang bangku Dini dan Ami itu pernah membatalkan janjinya hanya karena tak berani keluar pas tanggal 13. “Menurut ramalan di majalah, hari ini merupakan hari sial aku, Din! Aku gak berani pergi ke mana-mana. Takut terjadi apa-apa.” Uh, nyebelin banget kan?
“Bintang kamu capricornus kan, Din?” tanya Margi di bangkunya, 15 menit sebelum bel masuk berbunyi.
“He’eh,” jawab Dini tanpa menoleh. Kepalanya yang berbalut kerudung putih rebah di atas meja. Malas.
“Mmh…”
Dini menegakkan kepala. Menoleh ke arah Margi yang masih menekuni majalahnya.
“Maksudnya apa, tuh?”
“Hah?”
“Deheman kamu barusan?”
“Oh…” Margi tak lantas menejawab. Matanya yang jeli belum bergeming dari lembar majalah yang sedang dibacanya.
Kening Dini mengerut. Makin bingung. “Margi!”
“Apa honey,” jawabnya tenang.
“Kamu bemum jawab pertanyaanku barusan!”
“Yang mana?”
“Duh… kamu kok jadi pikun begini, seh?!” Dini keki, “Maksud deheman kamu barusan apa?”
Margi tersenyum. Sukses dia menarik perhatian sahabatnya itu. “Ini Din, menurut ramalan bintang capricornus di majalah ini, ada seseorang yang diam-diam suka memperhatikan kamu. Yah, semacam penggemar misterius gitu kali, ya?”
“Eh, ganteng gak… ganteng gak?”
“Mmh… gak ditulis, tuh.”
“Yah… basi!” Dini kembali merebahkan kepalanya di meja.
Ami muncul tiba-tiba dari balik pintu kelas. Melempar tasnya ke meja. Mengeluarkan sebuah majalah dari dalam tasnya. “Liat deh, Din!”
“Apa?” jawabnya dengan mata yang setengah terpejam.
Ami mengguncang-guncang tubuh Dini, sampai gadis itu membuka mata lebar.
“Uh, gangguin orang aja!”
“Ini penting, Din. Dengar ya. ‘Asmara: Buka mata, buka telinga. Seseorang di sekolah kamu diam-diam memendam perasaan cintanya kepada kamu’, begitu kata ramalan bintang kamu minggu ini.”
“Hah?” Margi merebut majalah dari tangan Ami, “kok mirip-mirip sama ramalan di majalah yang lagi aku baca, sih?”
“Masa, sih?” Ami mengambil majalah milik Margi, dan membaca ramalan bintang di dalamnya.
Margi dan Ami tampak serius menekuni kalimat demi kalimat ramalan bintang capricornus di majalah. Sampai terdengar suara…
“Ggggrrrrooookkkhhhh…!” Suara dengkur si Dini yang tertidur lelap di mejanya.
Margi dan Ami bertukar pandang. Melihat ke arah Dini.
“Dasar peloooorrr!”
Bel masuk berbunyi. Para siswa mulai menempati mejanya. Dni masih saja asyik mendengkur. Kegemarannya menulis cerpen sampai larut malam, membuat gadis yang punya cita-cita menjadi penulis ternama itu sering ketiduran di dalam kelas. Sudah lumayan banyak cerpen-cerpennya yang dimuat di majalah remaja.
Bu Hartini, guru akutansi yang juteknya nggak ketulungan itu masuk ke dalam kelas. Emh… sepertinya sebentar lagi bakalan ada yang kena semprot, nih…
“Dinnnnniiiiiii…!!!”
Tuh, kan.
ooOoo
“Kayaknya si Fadil, deh.”
“Kalo menurut aku sih, si Koko.”
“Kalo Hendra gimana?”
“Atau… si Veejay?”
“Mmh…”
Kepala Dini mondar-mandir memandang ke arah Margi dan Ami, persis orang yang sedang menonton pertandingan bulutangkis. Saat itu mereka sedang berada di kantin sekolah pas jam istirahat pertama.
“Kalian pada ngomongin apaan sih?”
“Eh, menurut kamu siapa, Din?”
“Siapa apanya?” Dini bingung ditanya begitu olah Margi.
“Cowok!” tukas Margi, “Cowok yang diem-diem naksir sama kamu!”
“Veejay ya, Din?” sambar Ami, “Dia kan udah dari kelas satu naksir sama kamu.”
“Pasti Fadil yang tampangnya kayak almarhum Munir itu ya, Din?” Margi tak mau kalah, “Fadil pernah secara nggak langsung ngomong ke aku kalau dia naksir sama kamu.”
“Masa, sih?”
“Tapi aku sering memergoki si Koko, ketua kelas kita yang jangkung itu mencuri-curi pandang ke arah kamu,” ujar Margi.
“Ah, gak mungkin si Koko, dia kan udah punya Nia,” bantah Ami, “Kalo Hendra aku percaya.”
“Duh… nggak ngerti, ah!” Dini segera melarikan diri meningalkan kantin yang mulai sepi ditinggalkan para siswa, setelah puas mengisi perut mereka, dan kembali ke kelasnya masing-masing. Heran, kok bisa ya ada orang yang begitu terpengaruh dengan isi ramalan di majalah? Bagaimana mungkin, individu yang berbeda dengan zodiak yang sama, memiliki peruntungan yang sama pula?! Nonsense!
“Ups!” hampir saja Dini ditabrak seseorang ketika dia hendak masuk ke kelasnya.
“S-sori?” ucap seseorang yang wajahnya sangat rupawan. Bule. Begitu anak-anak kelas tiga biasa memanggilnya. Kakak kelas Dini yang jago main basket itu punya nama asli Dejan. Mamanya orang Jawa, papanya asli Montenegro.
“Ah, gak pa-pa, kok,” ucap Dini sambil menundukkan pandangnya, takut terkena sihir mata biru Dejan yang luar biasa indah. Tapi baru saja dia hendak melangkahkan kakinya, Dejan kembali membuka suara.
“Hei!” ucap Dejan membuat Dini urung melangkah, “Kamu Dini, kan? Yang cerpennya suka dimuat di majalah remaja?”
Dini mengangguk. Takjub. Kali ini dia tak berhasil menghindari mata biru Dejan.
“Wah… aku suka baca cerpen-cerpen kamu, lho… keren! Eh, ternyata kamunya juga keren!”
Dini melambung. Siapa yang tidak? Dipuji cowok sekeren Dejan, jelas bisa menaikan pasaran. Apalagi waktu Dejan mengucapkan itu, banyak teman-teman sekelas yang juga mendengarnya.
“Kapan-kapan kita ngobrol-ngobrol lagi, ya? Aku pingin banget biasa nulis cerpen seperti kamu.”
Lagi-lagi Dini hanya bisa mengangguk. Tak mampu berucap. Bahkan setelah Dejan meninggalkan senyum dan berlalu dari hadapannya. Dini masih saja membeku di tempatnya.
“Duh… ada yang mukanya berubah jadi kepiting rebus, nih…” goda Margi yang berdiri di sebelah Ami. Entah sejak kapan mereka ada di situ. Dini tidak menyadarinya.
Dini tersipu malu.
ooOoo
Sebuah majalah terkapar di atas meja beranda depan rumah Dini. Gadis manis itu tersenyum memungutnya. Dia selalu mendapatkan kiriman majalah itu setiap kali cerpennya dimuat di sana. Honornya lumayan. Bisa buat traktir teman-temannya.
Di kamarnya, Dini membuka-buka lembar demi lembar majalah. Sampai di rubrik Zodiak kamu. Biasanya Dini selalu melewatkan halaman itu. Tapi entah mengapa, kali itu dia tertarik membaca ramalan bintangnya. Mungkin Dini mulai ketularan kedua sahabatnya.
Asmara. Mmh… si dia sudah berani menyapa. Pelan-pelan saja. Kalo jodoh nggak bakal ke mana. Tiba-tiba Dini tersenyum.
Ups… kenapa Dini jadi terbayang-bayang wajah indonya si Dejan ya? Dini buru-buru menepis bayangan itu. Istigfar tiga kali. Tapi… nggak sukses! Wajah itu nempel seperti ketan di dinding ingatan, melekat di retina matanya. Ke manapun dia memandang, wajah Dejan ada di sana, di mana-mana. Bahkan di dalam tidur pun, wajah itu seolah tak rela melepaskan Dini dari bayang-bayangnya!
Dan cerita pun mengalir seperti sungai, berembus seperti angin. Bukan sekedar sapaan dengan sedikit senyum dan basa-basi di ambang pintu kelas lagi, Dini dan dejan jadi sering terlihat bersama-meski tak pernah hanya berdua-di sudut-sudut sekolah. Selalu ada Margi dan Ami, atau salah satu di antara keduanya yang menemani Dini dan Dejan. Dini yang menghendaki begitu, sebab walau mulai menikmati sihir mata biru Dejan yang mampu membuai siapa saja yang sengaja-maupun tak sengaja-memandangnya, seperti zat adiktif yang mampu menghadirkan halusinasi, dia tak berani sendirian berada bersama Dejan. Takut tenggelam dalam pesona mata birunya yang memabukkan. Dan untungnya Dejan tidak pernah merasa keberatan. Dia malah senang!
ooOoo
Jangan-jangan ramalan bintang itu benar? Jangan-jangan memang ada seseorang yang diam-diam lagi naksir aku? Jangan-jangan orang itu Dejan? Jangan-jangan…
“Hayo!” kejut Margi yang tanpa sepengetahuan Dini sudah menelusup ke dalam kamarnya, membuat Dini terlonjak. “Lagi ngelamunin Dejan, ya?”
“Idih, siapa bilang?”
“Alaaa… gak usah mungkir, deh! Muka kamu udah menjelaskan!” ledek Margi yang wajahnya nggak kalah keren sama artis sinetron itu.
“Ada apa dengan muka aku?” Dini meraba-raba wajahnya yang merona merah.
Margi mengembil cermin dan membentangkannya di hadapan Dini. “Liat aja sendiri, muka kamu udah persis seperti kepiting rebus! Masih mau membantah?”
Dini tersipu-sipu. Malu. Belakangan ini dia memang benar-benar telah menjadi tawanan bagi wajah tampan Dejan. Benar-benar tak mampu melepaskan diri. Jangan-jangan si Dini sudah jatuh cinta dengan pemilik mata biru itu? Wah, bakal jadi berita yang menghebohkan, nih. Dini memang belum pernah jatuh cinta dengan cowok sebelumnya. Cinta pertama? Mungkin. Tapi, Dini masih belum yakin dengan perasaannya.
“Baca deh, Din!” Margi memberikan majalah yang sudah terbuka halamannya kepada Dini. Rubrik ramalan bintang.
“Inilah saat yang paling tepat untuk menyatakan perasaanmu kepadanya,” Dini membaca ramalan asmara bintangnya.
“Tunggu apalagi?”
“Mana biasa begitu? Mana ada kamusnya cewek menyatakan cintanya lebih dulu ke cowok?! Lagipula, siapa yang suka sama Dejan?”
“Huh. Masih mau ngelak. Nanti kalo keduluan orang baru tau rasa, lho!”
“Biarin!”
“Bener, nih? Nggak nyesel?”
“NO WAY!”
Margi hanya tersenyum mendengar jawaban dari Dini.
ooOoo
Tingginya gunung dapat di daki, luasnya gurun dapat di seberangi, dalamnya lautan dapat diselami. Tapi, siapa dapat menerka isi hati? Meski Dini berusaha mati-matian mengingklari perasaannya, dia tak sanggup menyembunyikan perasaan dari dirinya sendiri. Dia bukan saja mulai memercayai ramalan bintang di majalah. Dia bahkan mulai berharap Dejan merupakan seseorang yang diam-diam menaruh hati kepadanya, seperti yang diramalkan di majalah. Sikap Dejan seolah menjawab harapan Dini. Tapi, mengapa Dejan belum mau juga menyatakan cintanya? Inilah saat yang tepat untuk menyatakan perasaanmu kepadanya, Dini teringat dengan ramalan bintang yang dibacanya di majalah beberapa waktu lalu. Tapi apa kata orang nanti kalau Aku menyatak cinta lebih dulu ke Dejan? Bisa-bisa Dejan malah tidak bersimpati kepadaku, dan lari menjauh. Lagipula, bagaimana dengan kerudungku ini? Rasanya…
Suara ponselnya berbunyi. Dini memungutnya dari meja belajar di samping ranjang tidurnya. Dejan? Nama itu muncul di monitor handphone-nya. Dini tersenyum. Lalu menerima telepon itu.
“Assalamu alaikum!”
“Waalaikumussalam.”
“Ada apa? Kok tumben nelepon aku, sih?”
“Mmm… begini, Din, sebenarnya udah lama aku mau ngomong ini ke kamu. Tapi aku malu. Nggak tau harus mulai dari mana.”
“Kenapa harus malu? Emang apa sih yang mau kamu omongin?” pancing Dini.
“Ehm… k-kamu mau ngga jadi…”
“Mau! Mau!” jawab Dini spontan sebelum Dejan menyelesaikan ucapannya.
“Hah? Yang bener, Din?”
“Bener…” kali ini Dini terdengar malu-malu.
“Wah, makasih ya, Din!” ucap Dejan senang, “Udah lama aku naksir sama Margi, makasih ya kamu mau nyomblangin aku sama Margi!”
Deg!
Dini membeku. Kelu. Tak tahu harus berkata apa. Handphone-nya terjatuh.
Dia mengumpulkan semua majalah yang ada ramalan bintangnya, membuangnya ke tong sampah, dan membakarnya!
ref:gaulislam.com

Syekh Muhammad Nazim Adil al-Haqqani QS: Catatan untuk Para Penyembuh


A’uudzubillaahi minasy syaythaanir rajiim
Bismillaahir rahmaanir rahiim
Wash-shalaatu was-salaamu ‘alaa asyrafil Mursaliin Nabiyyina Muhammadin wa ‘alaa aalihi wa Shahbihi ajma’iin
Kita berada dalam kedamaian di alam lain, itulah sebabnya di dunia ini kita juga akan berada dalam kedamaian. Kenyataan bahwa kita duduk dan bercakap-cakap dengan bersahabat menunjukkan bahwa kita juga telah melakukan hal yang sama di dunia spiritual. Jiwa kita merasa damai. Selamat datang pada kalian! Apakah kalian bahagia?
Saya memahami bahwa kalian sedang mempelajari cara-cara penyembuhan. Siapakah yang menjadi penyembuh pertama? Pria atau wanita? Mereka adalah para ibu. Allah SWT telah memberikan kekuatan rahasia melalui tangan manusia untuk menghentikan penderitaan umat manusia, dan yang pertama melakukannya adalah para ibu. Keibuan adalah hal terpenting bagi wanita. Itu adalah pekerjaan yang paling mulia. Ketika seorang anak menangis, ibu akan segera mendatanginya untuk menghentikan penderitaannya. Itulah sebabnya wanita lebih siap untuk menjadi seorang penyembuh ketimbang pria. Mereka juga biasanya mempunyai kasih sayang lebih besar kepada sesama, yang mana sangat diperlukan oleh seorang penyembuh. Jika seorang penyembuh hanya menggunakan tangan mereka, takkan ada orang yang datang. Tetapi jika mereka juga mempunyai kasih sayang, kemurahan hati mereka ini akan berefek dengan cepat kepada orang lain. Hal ini juga penting bagi para dokter, tetapi dewasa ini kebanyakan di antara mereka bertindak seperti seorang penjagal, mereka tidak mempunyai belas kasihan sedikit pun. Kini para dokter bagaikan robot; oleh sebab itu para penyembuh harus tampil berbeda. Semakin banyak mereka menggunakan tangannya, mereka juga harus menggunakan hatinya. Jika kalian melihat seseorang yang tengah menderita, kalian harus bisa merasakan kesedihan mereka.
Selama para penyembuh hanya tertarik untuk memberi manfaat kepada orang lain dan tidak berpikir tentang apa yang akan mereka dapatkan, mereka akan berhasil. Tetapi bila mereka melakukan pekerjaan itu sebagai profesinya dan mereka ingin mendapatkan keuntungan material dari pekerjaannya, kekuatan mereka akan berkurang. Begitu banyak orang yang datang kepada saya untuk melihat apa yang kita lakukan; kemudian mereka ingin tahu apa (berapa) yang harus mereka bayarkan. Saya menunjukkan tongkat saya pada mereka dan Saya katakan, “Saya tidak datang ke sini untuk berbisnis (dengan tongkat ini.) Pergilah! Jika kalian ingin memberikan sedekah kepada seseorang, maka lakukanlah.”
Ini adalah satu hal yang sangat penting. Setiap orang yang ingin berhasil dan meraih derajat spiritualitas yang tinggi, mereka tidak boleh memikirkan keuntungan materil dari orang lain. Jika mereka sedang membutuhkan, kemudian mereka ingin memberi sesuatu, itu lain soal. Tetapi kalian tidak boleh menetapkan tarif tertentu dan meminta bayaran, … katakanlah sebesar 7 atau 70 pound atau 70 penny, tidak boleh! Kalian harus melakukannya demi kehormatan manusia. Adalah suatu kehormatan bagi manusia bila mereka bisa menolong orang lain seperti halnya yang dilakukan oleh para Anbiya. Mereka adalah para penyembuh juga. Mereka memberikan yang terbaik kepada orang-orang dengan memberi kemurahan hati mereka. Tetapi mereka tidak pernah pamrih. Itulah derajat kemanusiaan yang tertinggi. Semakin kalian mengejar keuntungan materil, kekuatan spiritual kalian akan semakin menurun. Banyak sekali metode penyembuhan, tetapi yang paling kuat adalah metode pemurnian dan pemurnian dimulai ketika kita meninggalkan keinginan-keinginan materil. Ketika kalian telah meninggalkan semua keinginan materil tersebut, barulah kalian mendapat kekuatan penuh. Selama kalian masih memiliki keinginan materil, energi kalian tidak dapat mengalir, ia masih tercampur. Oleh sebab itu kalian harus menunggu agar unsur-unsur kalian tertata (pada jalurnya masing-masing).
Kalian harus menggunakan beberapa metode untuk menata keempat unsur kalian, yaitu: air, api, udara dan tanah. Mereka harus ditempatkan pada jalurnya masing-masing agar tercapai suatu kesetimbangan dan memungkinkan energi untuk mengalir melalui tangan kalian kepada orang yang ingin disembuhkan. Ambillah gelas ini sebagai contoh! Di dalamnya terdapat campuran berbagai macam unsur, itulah sebabnya listrik tidak dapat mengalir. Hal yang sama berlaku pada tubuh kita, energi tidak dapat mengalir bila kita masih dalam keadaan tercampur. Itulah sebabnya, kita dalam jalur mistik dan agama menggunakan metode untuk memisahkan dan menata setiap unsur agar berada di jalurnya masing-masing.
Metodenya berbeda-beda, sesuai dengan kapasitas dan kemampuan masing-masing. Kita memiliki 41 metode. Jika seorang guru adalah guru yang telah diberi otoritas, ia akan mengetahui bagaimana cara menyembuhkan seseorang, apa-apa yang diperlukan untuk menata diri orang itu. Jadi, sebagai langkah pertama, orang itu harus memiliki guru.
Ketika kalian menyembuhkan seseorang, lakukanlah sebagai suatu kehormatan, lakukanlah untuk menolong orang yang lemah. Lakukanlah untuk mencapai orang-orang yang sedang membutuhkan. Jika kalian bisa membuat mereka senang, Allah SWT akan membuat kalian merasa senang juga. Mintalah kepada Allah SWT agar bisa meraih kedamaian dengan menyembuhkan orang. Setiap orang bisa menjadi seorang penyembuh! Terima kasih atas kehadiran kalian. Kalian masih muda dan Saya berharap energi kalian bisa melompat kepada saya. Bersama dengan anak-anak muda memberi banyak kekuatan kepada orang-orang tua, menjadikan kita seimbang.
Semua ini tidak pernah saya lihat pada buku-buku kalian, tetapi ini adalah apa yang mengalir dari markas besar melalui hati saya. Semuanya adalah aturan-aturan yang sesuai dan sepatutnya dijaga dan dilestarikan. Semoga Allah SWT memberkati kalian di dunia dan di akhirat. Amin.

Jangan anggap Pubertas menjadi hal yg negativ


Ada satu fase dari pertumbuhan anak yang paling dikhawatirkan oleh para orang tua. Fase ini sering disebut dengan masa pubertas. Dari aspek biologis, pubertas merupakan fase yang dimulai dari usia baligh alias kematangan biologis. Fase ini biasanya berada antara usia 12 tahun dan 18 tahun.
Kesalahan-kesalahan menghadapi pubertas ini banyak sekali dan beragam. Misalnya, tidak memberikan kesempatan kepada anak untuk mandiri. Padahal Rasulullah saw melatih anak-anak para sahabat sejak kecil untuk memikul tanggung jawab dalam bidang-bidang yang beragam dan turut menanggung beban kehidupan.
Hal ini seperti digambarkan dalam hadits Tsabit radhiyallahu anhu, dari Anas bin Malik radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah saw datang saat aku bermain bersama bocah-bocah lainnya. Lalu beliau memberi salam kepada kami, lalu mengutusku untuk suatu urusan. Sebelum pergi, aku menemui ibuku lalu ia bertanya, ‘Apa keperluan beliau itu?’ Aku berkata, ‘Itu rahasia!’ Ia berkata, ‘Kalau begitu, jangan ceritakan rahasia Rasulullah saw ini kepada siapa pun!’ Anas radhiyallahu anhu berkata, ‘Demi Allah, andaikata boleh aku menceritakannya kepada seseorang, pastilah sudah aku ceritakan hal itu kepadamu, wahai Tsabit!” (HR. Ahmad).
Betapa perhatian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam melatih anak-anak kecil untuk melakukan beberapa pekerjaan. Dengan begitu, tumbuh kokohlah jati diri mereka. Ini penting sebagai persiapan mereka untuk menghadapi kehidupan. Kasus keluarga berantakan (broken home), salah satunya diakibatkan oleh anak yang merasa tidak dihargai keberadaannya.
Kesalahan lain adalah membiarkan sang buah hati digarap oleh lingkungan. Akibatnya, anak tumbuh liar. Betapa pun tingginya prestasi dan megahnya gedung sekolah atau beragam jenisnya: Pesantren, Sekolah Islam Terpadu atau asrama, tanggung jawab pendidikan tetap berada di pundak orangtua.
Jangan berikan celah bagi nilai-nilai non-Islam masuk ke rumah. Jangan serahkan pendidikan anak kita pada TV atau membiarkan orang-orang yang tidak berakhlak masuk ke rumah kita, meski dia saudara, kerabat, teman atau pembantu. Karena kalau dibiarkan Anda akan termasuk tipe suami dan laki-laki ‘Dayyuts’ yang tidak akan masuk surga.
Rasulullah saw bersabda, “Tiga orang yang telah Allah haramkan masuk surga: pecandu khamr, pendurhaka terhadap kedua orang tuanya dan Dayyuts (suami yang tak punya rasa cemburu) yang menyetujui perbuatan keji dalam keluarganya,” (HR an-Nasai).

Alasan kenapa Aku Harus Menikahimu???

 Ini adalah kisah seorang pemuda tampan yang shalih dalam memilih calon istri, kisah ini tak bisa dipastikan fakta atau tidak, namun semoga pelajaran yang ada didalamnya dapat bermanfaat bagi kita semua, terutama Muslimah yang belum menikah semoga menjadi renungan.
Ia sangat tampan, taat (shalih), berpendidikan baik, orangtuanya menekannya untuk segera menikah.
Mereka, orangtuanya, telah memiliki banyak proposal yang datang, dan dia telah menolaknya semua. Orangtuanya berpikir, mungkin saja ada seseorang yang lain yang berada di pikirannya.
Namun setiap kali orangtuanya membawa seorang wanita ke rumah, pemuda itu selalu mengatakan “dia bukanlah orangnya!”
Pemuda itu menginginkan seorang gadis yang relijius dan mempraktekkan agamanya dengan baik (shalihah). Suatu malam, orangtuanya mengatur sebuah pertemuan untuknya, untuk bertemu dengan seorang gadis, yang relijius, dan mengamalkan agamanya. Pada malam itu, pemuda itu dan seorang gadis yang dibawa orangtuanya, dibiarkan untuk berbicara, dan saling menanyakan pertanyaan satu sama lainnya, seperti biasa.
Pemuda tampan itu, mengizinkan gadis itu untuk bertanya terlebih dahulu.
Gadis itu menanyakan banyak pertanyaan terhadap pemuda itu, dia menanyakan tentang kehidupan pemuda itu, pendidikannya, teman-temannya, keluarganya, kebiasaannya, hobinya, gaya hidupnya, apa yang ia sukai, masa lalunya, pengalamannya, bahkan ukuran sepatunya…
Si pemuda tampan menjawab semua pertanyaan gadis itu, tanpa melelahkan dan dengan sopan. Dengan tersenyum, gadis itu telah lebih dari satu jam, merasa bosan, karena ia sedari tadi yang bertanya-tanya, dan kemudian meminta pemuda itu, apakah ia ingin bertanya sesuatu padanya?
Pemuda itu mengatakan, baiklah, Saya hanya memiliki 3 pertanyaan. Gadis itu berpikir girang, baiklah hanya 3 perntanyaan, lemparkanlah.
Pemuda itu menanyakan pertanyaan pertama:
Pemuda: Siapakah yang paling kamu cintai di dunia ini, seseorang yang dicintai yang tidak ada yang akan pernah mengalahkannya?
Gadis: Ini adalah pertanyaan muda, ibuku. (katanya sambil tersenyum)
Pertanyaan ke-2
Pemuda: Kamu bilang, kamu banyak membaca Al-Qur’an, bisakah kamu memberitahuku surat mana yang kamu ketahui artinya?
Gadis: (Mendegar itu wajah si Gadis memerah dan malu), aku belum tahu artinya sama sekali, tetapi aku berharap segera mengetahuinya insya Allah, aku hanya sedikit sibuk.
Pertanyaan ke-3
Pemuda: Saya telah dilamar untuk menikah, dengan gadis-gadis yang jauh lebih cantik daripada dirimu, Mengapa saya harus menikahimu?
Gadis: (Mendengar itu si Gadis marah, dia mengadu ke orangtuanya dengan marah), Aku tidak ingin menikahi pria ini, dia menghina kecantikan dan kepintaranku.
Dan akhirnya orangtua si pemuda sekali lagi tidak mencapai kesepakatan menikah. Kali ini orangtua si pemuda sangat marah, dan mengatakan “mengapa kamu membuat marah gadis itu, keluarganya sangat baik dan menyenangkan, dan mereka relijius seperti yang kamu inginkan. Mengapa kamu bertanya (seperti itu) kepada gadis itu? beritahu kami!”.
1. Pemuda itu mengatakan, Pertama aku bertanya kepadanya, siapa yang paling kamu cintai? dia menjawab, ibunya. (Orangtuanya mengatakan, “apa yang salah dengan itu?”) pemuda itu menjawab, “Tidaklah dikatakan Muslim, hingga dia mencintai Allah dan RasulNya (shalallahu’alaihi wa sallam) melebihi siapapun di dunia ini”. Jika seorang wanita mencintai Allah dan Nabi (shalallahu’alaihi wa sallam) lebih dari siapapun, dia akan mencintaiku dan menghormatiku, dan tetap setia padaku, karena cinta itu, dan ketakutannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan kami akan berbagi cinta ini, karena cinta ini adalah yang lebih besar daripada nafsu untuk kecantikan.
2. Pemuda itu berkata, kemudian aku bertanya, kamu banyak membaca Al-Qur’an, dapatkan kamu memberitahuku arti dari salah satu surat? dan dia mengatakan tidak, karena belum memiliki waktu. Maka aku pikir semua manusia itu mati, kecuali mereka yang memiliki ilmu. Dia telah hidup selama 20 tahun dan tidak menemukan waktu untuk mencari ilmu, mengapa Aku harus menikahi seorang wanita yang tidak mengetahui hak-hak dan kewajibannya, dan apa yang akan dia ajarkan kepada anak-anakku, kecuali bagaimana untuk menjadi lalai, karena wanita adalah madrasah (sekolah) dan guru terbaik. Dan seorang wanita yang tidak memiliki waktu untuk Allah, tidak akan memiliki waktu untuk suaminya.
3. Pertanyaan ketiga yang aku tanyakan kepadanya, bahwa banyak gadis yang lebih cantik darinya, yang telah melamarku untuk menikah, mengapa Aku harus memilihmu? itulah mengapa dia mengadu, marah. (Orangtua si pemuda mengatakan bahwa itu adalah hal yang menyebalkan untuk dikatakan, mengapa kamu melakukan hal semacam itu, kita harus kembali meminta maaf). Si pemuda mengatakan bahwa Nabi (shalallahu’alaihi wa sallam) mengatakan “jangan marah, jangan marah, jangan marah”, ketika ditanya bagaimana untuk menjadi shalih, karena kemarahan adalah datangnya dari setan. Jika seorang wanita tidak dapat mengontrol kemarahannya dengan orang asing yang baru saja ia temui, apakah kalian pikir dia akan dapat mengontrol amarah terhadap suaminya??
Pelajaran akhlak dari kisah tersebut adalah, pernikahan berdasarkan:
- Ilmu, bukan hanya penampilan (kecantikan)
- Amal, bukan hanya berceramah atau bukan hanya membaca
- Mudah memaafkan, tidak mudah marah
- Ketaatan/ketundukan/keshalihan, bukan sekedar nafsu
Dan memilih pasangan yang seharusnya:
- Mencitai Allah lebih dari segalanya
- Mencintai Rasulullah (shalallahu ‘alai wa sallam) melebihi manusia manapun
- Memiliki ilmu Islam, dan beramal/berbuat sesuai itu.
- Dapat mengontrol kemarahan
- Dan mudah diajak bermusyawarah, dan semua hal yang sesuai dengan ketentuan Syari’at Islam.
Rasulullah shalalahu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya:
“Wanita dinikahi karena empat hal, [pertama] karena hartanya, nasabnya, kecantikannya, dan agamanya. Carilah yang agamanya baik, jika tidak maka kamu akan tersungkur fakir”. (HR. Bukhori no. 5090, Muslim no. 1466)
oleh: Zafaran

KLIK PLAY UNTUK MENDENGARKAN DAN MENGARTIKAN AYAT AL-QUR'AN