Karya Dinta Pelangi
Sinar bulan purnama turut menemani indahnya malamku yang terasa begitu sunyi. Kulirikkan mata ini pada indahnya maha karya sang penguasa alam. Ingatanku kembali merayap kemasa-masa indahku di Jogja. Bersama sanak saudaraku disana. Namun kini aku sendiri di Jakarta, tempatku mencari ilmu dan sekaligus untuk berdakwah serta menjadi seorang musafir yang ingin mencari sebuah jati diri.
Dengan ditemani secangkir coklat hangat dan beberapa bungkus cemilan, kumainkan jari jemariku diatas laptopku. Ku jelajahi dunia internet yang terkenal begitu luas. Setelah mendapatkan informasi, aku terfikir untuk membuka facebookku yang bernama “ Ukhty Riana Anggraini“ yang sudah hampir tiga minggu tidak ku update. Setelah menanggapi beberapa permintaan pertemanan, aku membuka sebuah pesan dari seorang akhwat.
“Assalamu’alaykum.wr.wb. ini Ukhty Riana Anggraini kan?”
Dengan ditemani secangkir coklat hangat dan beberapa bungkus cemilan, kumainkan jari jemariku diatas laptopku. Ku jelajahi dunia internet yang terkenal begitu luas. Setelah mendapatkan informasi, aku terfikir untuk membuka facebookku yang bernama “ Ukhty Riana Anggraini“ yang sudah hampir tiga minggu tidak ku update. Setelah menanggapi beberapa permintaan pertemanan, aku membuka sebuah pesan dari seorang akhwat.
“Assalamu’alaykum.wr.wb. ini Ukhty Riana Anggraini kan?”
Kebetulan dia sedang online juga, aku pun mereply pesan darinya.
“Wa’alaykumsalam, warahmatullahh. . , na’am ukh, ana Riana.”
Kemudian ia membalas
“begini ukh, ana ingin ikut jadi relawan palestina, ukhty panitia para akhwatkan?”
“na’am ukh, Alhamdulillah nambah satu mujahidah lagi nih”
“ afwan ukh, masmuki?”
“oh iya, ana Dina Alfath ukh, ana min Jakarta syarqiyyah”
“jazakallahhu khayran katsiir ya ukh atas partisipasinya, ruuhul jihad ukh!. untuk lebih lanjutnya, nanti ana kerumah anty, ini no ana, 0852468664xx, sms alamatnya ya. assalamu’alaykum”
“wa’alaykumsalam”
Memoriku kembali berputar menuju sebuah penindasan penindasan yang pernah kulihat pada saudara saudaraku. Saudara saudariku yang tengah menghadapi para zionis terlaknat dan biadab.
“Negeri para nabi, tempat para rasul
Kini tlah berubah jadi kubur
Yahudi, kau terlaknat!”
Para zionis biadab yang telah membuat anak anak kehilangn sanak saudaranya. Dan kini menjadi yatim dan piatu. Kini ragaku tengah terpatri untuk membantu mereka. Kalaupun aku harus syahid, aku ikhlas. Karena jiwaku benar benar perih melihat pedihnya penderiataan saudara saudaraku di Palestina,
“pokoknya, Palestine will be free” gumamku dalam hati.
*****
Dengan ditemani kesibukanku sebagai seorang dokter dan mengasuh sebuah panti asuhan, waktu seakan begitu cepat. Tiga hari lagi aku akan berangkat ke sebuah negeri yang sangat membutuhkan sebuah bantuan.
Surat cuti selama dua minggu telah ku ajukan pada rumah sakit yang sebenarnya adalah rumah sakit milik Ayahku yang kini diurus oleh Mas Rian, kakak kandungku. Dan kini aku tinggal meminta do’a restu pada kedua orang tuaku.
“Aby, Umy, Insya Allah tiga hari lagi Riana berangkat. Mohon do’anya ya by, my.”
“ iya anakku, insya Allah aby sama umy sudah merestuimu. Semoga Allah menjagamu dan teman-temanmu ya. Jangan lupa shalat dan berdo’alah padanya, semoga langkah kalian semua dipermudah!”
“aamiin, syukran ya by. Assalamu’alaykum warahmatullahh. . ’
“Wa’alaykumsalam warahmatullahh. . . ”
Dari perbincanganku dengan aby dan umy, aku tahu bahwa ada sebuah kekhawatiran disana. Kekhawatiran pada seorang anak “gadis” semata wayangnya.
****
Setelah persiapan selesai, aku berangkat menuju bandara bersama teman-temanku yang semenjak kemarin menginap dirumahku. Dengan menggunakan taksi hampir selama 45 menit, akhirnya kami tiba dibandara.
“afwan kami agak terlambat, jalanan agak macet.” Ucapku.
“tak apa.” Jawab seseorang dengan singkat dan tenang.
Entah mengapa, perasaanku tak karuan mendengar suara itu. Suara yang sepertinya telah lama tidak kudengar.
****
Pesawat kami mengudara tepat pada pukul tiga siang. Sungguh betapa indahnya maha karyaNya yang begitu sempurna. Yang takkan pernah tertandingi oleh siapapun, bahkan oleh seorang professor dan manusia terjenius sekalipun.
Temanku Airin nampak tertidur setelah beberapa lama ia mendengarkan murattal dari mp3 playernya. Hanya aku dan beberapa orang yang saja yang masih tak terbuai dalam sebuah mimpi. Karena kali ini aku sengaja membawa novel favoritku “ Diorama Sepasang Albanna”, yang telah kubaca berulang-ulang kali. Sebuah buku yang kurasa begitu kompleks, dan tak pernah bosan untuk dibaca. Dengannya, kunikmati perjalanan yang tenang dalam dendangan pesawat yang menabrak awan.
****
Setelah beberapa jam, akhirnya pesawat kami mendarat. Para rombongan pun segera menuju sebuah bus yang akan membawa kami menuju posko untuk para relawan. Sesampainya diposko, ritual pun dimulai dengan mandi bergantian. Selepas mandi, kami shalat berjamaah disebuah mesjid dekat posko.
“Subhanallah, indah sekali ya ukh lantunan ayat dari imam tadi.” Ucap Ratih.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk, tanda setuju.
“tapiii, kayanya ana kenal suara itu loh ukh.” Timpal Rena sembari mengingat-ingat.
“aha, ana tau itu suara siapa.” Ucapnya lagi.
“siapa ukh?” Tanya Ratih.
“Akhy Rasyiid!” jawabnya.
“ohhh” sahutku dan Ratih beriringan.
Sehabis shalat, kamipun tertidur dengan lelapnya.
****
Pagi yang cerah nan sejuk dinaungan bumi Palestina. Namun tiba-tiba terdengar ledakan keras dari arah luar mesjid. Kami yang telah menunaikan shalat subuh berjamaah berlarian menuju keluar mesjid.
“Mungkin ini sudah waktunya, bismillahh” gumamku sembari berlari menuju seorang anak kecil yang terkapar ditanah. Aku menggendongnya menuju posko pengobatan. Seorang anak laki-laki yang menggunakan baju koko dan peci. Dari pakaiannya, aku tahu bahwa ia baru selesai shalat bersama kami. Ia menangis dan mencoba menahan rasa sakit akibat terkena ledakan. Kakinya berlumuran darah dan kemungkinan ia. . . akan kehilangan kakinya.
Aku mengobatinya dengan hati-hati, karena aku tahu ia sedang kesakitan.
“Masya Allah, kasihan sekali anak ini.” lirihku.
Kakinya diamputasi setelah dilakukan operasi selama hampir tiga jam. Dan kini, kaki kananya telah hilang tak berbekas.
“Ya Rabbi, kuatkan ia.” Do’aku.
****
Satu jam kemudian, ia siuman dan mulai membuka matanya secara perlahan. Aku segera mendekatinya dan kuberi salam padanya.
“Assalamu’alaykum warahmatullahhi wabarakaatuh.”
“wa’alaykum. . . salllam warahma. . tullahh..i wabarakaatuh” sahutnya dengan terbata-bata.
Untuk beberapa saat, ia terdiam dengan sesekali melihatku.
“maa haazha mustasfha?” tanyanya
“Na’am, haazha mustasfha!” sahutku.
Ia terdiam dan sesekali memperhatikanku yang tepat berdiri disampingnya. Kemudian ia bercerita tentang keluarga, teman-temannya, dan banyak hal. Dengan cepat kami akrab bagaikan sepasang saudara. Darinya, aku tahu bahwa ia telah kehilangan sanak saudaranya. Dari ayah, ibu, kemudian adiknya yang bernama Aisyah. Bahkan hampir saja kuteteskan air mataku dihadapannya. Tapi aku tak tega menangis dihadapannya hingga akhirnya kutahan air mata ini agar tetap terjaga diperaduannya.
Setelah ia selesai bercerita, aku menawarinya untuk makan siang.
“ Anta jai’?” tanyaku dengan tersenyum padanya.
Ia tersenyum dan mengangguk. Akupun menyuapinya hingga akhirnya ia tertidur dalam dekapanku.
#####
Tanpa setahu Riana, ada seseorang yang sedang memperhatikannya dibalik dinding yang cukup transparan. Sesosok manusia itu adalah seorang ikhwan tampan yang bernama Rasyid Fikri. Seseorang yang semenjak di LDk dulu mengagumi sepak terjang Riana. Namun ia tak pernah mempunyai kesempatan untuk mengatakan maksud hatinya pada murabbi Riana. Karena begitu sibuknya ia dalam memimpin LDK sekaligus kuliah dan bekerja. Hingga akhirnya ia diwisuda dan lulus kuliah.
Hari demi haripun berlalu hingga akhirnya tepat satu tahun semenjak ia tak pernah melihat Riana lagi. Ia berjumpa kembali dengan Riana di Rumah sakit, tempat Ibunya dirawat karena penyakit diabetesnya dan Rianalah yang merawat Ibunya. Bahkan Ibunya menyukai sosok dokter muslimah seperti Riana. Yang begitu anggun dengan jilbab besarnya. Ujung-ujungnya, ia kembali meminta Rasyid untuk segera menikah dan mencari isteri seperti Riana.
“Rasyid, Ibumu ini sudah tua dan sakit-sakitan, Bapakmu sudah nda ada, usahamu sudah punya banyak cabang, adikmu sudah hampir lulus kuliahnya. Umurmu juga sudah 28 tahun, sudah waktunya untuk melengkapi separuh agamamu…” jelas ibunya.
Rasyid hanya terdiam dan merenungi apa yang dikatakan Ibunya.
####
Tanpa terasa, sudah tiga hari Riana dan teman-temannya di Palestina. Riana semakin akrab dengan masyarakat disana yang sungguh ramah. Ia membantu mengobati para korban yang terluka, ia mengajak anak-anak bermain, dan mengajari mereka tentang banyak hal. Namun tiba-tiba terdengar ledakan yang semakin lama semakin terdengar mendekat. Dengan sigap, ia membawa anak-anak itu menuju tempat berlindung dengan menggendong dan menggandeng tangan mereka satu persatu. Mereka menangis dan sesekali menyemarakkan kalimah Allah. Namun tanpa sepengetahuan Riana, ada seorang pria berkaos hitam dan bertopeng mengintainya dari kejauhan dengan sesekali berjalan mendekatinya. Dan tiba-tiba. . .
“dorrr!!”
Terdengar bunyi tembakkan dengan keras dari belakang yang beriringan dengan teriakan Airin. .
“ka Riana. . .awas!!”
Riana terjatuh dan seorang anak dalam dekapannya menangis. Tembakkan itu tepat mengenai kaki kanannya yang berusaha berlari menuju tempat untuk melindungi anak-anak yang ketakutan.
Melihat Riana terjatuh, Airin segera meminta pertolongan dari teman-temannya. kemudian datanglah Erna, Nadia, Aisyah dan Rina. Mereka membawanya kesebuah tenda khusus untuk mengobati korban yang terluka. Darah segar terus menetes dari kakinya sedangkan ia tak sadarkan diri untuk beberapa saat. Hingga beberapa jam kemudian, akhirnya Riana siuman. Dengan perlahan-lahan ia buka matanya yang telah beberapa jam tak terbuka.
“afwan ya ukhty kalau ana merepotkan antum” ucapnya pelan.
“gak papa ko ukh, gimana keadaan ukhty?” jawab Nadia dengan lembut.
“Alhamdulillah sudah enakan ko, insya Allah ana sudah gak papa.” Jawab Riana.
“ya sudah, anty istirahat saja dulu. Semoga cepat sembuh ya ukhty.” Do’a teman-temannya.
“aamiin” ucap mereka serentak.
****
Lima hari kemudian, Riana dan relawan lain kembali menuju Indonesia. Setelah beberapa jam menempuh perjalanan, akhirnya mereka tiba dibandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Para keluarga mereka juga telah menunggu kedatangan mereka disana. Dengan sedikit tertatih, Riana menuju kedua orang tuanya yang telah menunggunya. Terlihat gurat-gurat kerinduan dan kekhawatiran disana.
“Masya Allah Na, kakimu kenapa to nduk?” Tanya Ibunya, khawatir.
“Kaki Riana gak kenapa-napa ko umy, Cuma sakit sedikit saja.” Jawabnya dengan tersenyum dan mengajak kedua orang tuanya untuk segera menuju restoran.
Sesampainya direstoran, tanpa sengaja mereka bertemu dengan teman lama Ibunya.
“Hai jeng, ngapain disini?” ucap seorang Ibu-ibu dengan seorang anak kecil disampingnya.
“ini, habis jemput Riana.” Jawab Ibunya, seadanya.
“oh..ini Riana….? Yang seumuran sama anak saya Lisa kan?” Tebak Ibu itu.
“iya.” Sahut Ibu Riana dengan tersenyum.
“loh, suaminya ko gak jemput?” Tanya Ibu itu lebih detail.
“anak saya belum menikah Ci, ini cucumu ya? Putrinya Lisa?”
“belum nikah jeng? Umurnya sudah 26 to? Wah bisa-bisa gak…”
“Bu, makanannya keburu dingin tuh. Ayo dimakan dulu.” Ucap Riana, mencoba mendinginkan suasana.
****
Seminggu setelah kepulangan Riana dari Palestina, budenya datang kerumahnya.
“to the point aja ya Na, sebenarnya bude kesini untuk mengantarkan berkas ta’aruf untukmu.”
“ha? Si…siapa bude?” koment Riana dengan tergagap.
Karena ia hampir tak percaya mendengar ucapan yang baru saja disampaikan padanya.
“Namanya Rasyid Fikri Na, dua hari yang lalu dia meminta tolong pada Pamanmu untuk mencarikannya calon isteri. Setelah Pamanmu bilang bahwa kami memiliki keponakan yang belum menikah dan kami berikan berkas ta’arufmu, dia langsung menyetujuinya Na.” jelas budenya.
“a..apa? Rasyid Fikri?” Tanya Riana, tergagap.
“iya, insya Allah dia adalah lelaki yang baik, sopan, bertanggung jawab, mapan, dan insya Allah sholeh..” jelas Budenya lagi.
“Insya Allah..Riana mau bude.. !” ucapnya, mantap.
****
Riana terkejut melihat siapa yang berada dibalik pintu yang ia buka.
“wa’alaykumsalam warahmatullaahh.. silahkan masuk. Saya panggil Bapak sama Ibu dulu ya Pak, Bu. Silahkan duduk dulu..” pintanya
Riana hanya terdiam dikamarnya dengan sesekali mendengarkan pembicaraan dua keluarga yang sedang merancang masa depannya.
****
Tiga minggu berlalu….
Akhirnya, hari yang telah ditunggu-tunggu telah menjemput Riana yang kini tengah berdebar-debar hatinya. Hatinya gelisah, rasa takut dan bahagia bercampur padu. Hingga tepat pukul 8 pagi, Rasyid dan keluarganya tiba dirumahnya. Acarapun dimulai setelah 15 menit kemudian. .
“saya terima nikah dan kawinnya, Riana Anggraini binti Ahmad Yani dengan maskawin sebuah tasbih mutiara dan seperangkat alat shalat dibayar tunai!!” ucap Rasyid dengan lantang, mantap dan tenang.
“bagaimana para saksi?”Tanya penghulu.
“sah!!” ucap semua saksi.
“barakallahhulakuma wa baraka’alaykuma bikhayr. . .” do’a penghulu yang menikahkan.
Kemudian ia membalas
“begini ukh, ana ingin ikut jadi relawan palestina, ukhty panitia para akhwatkan?”
“na’am ukh, Alhamdulillah nambah satu mujahidah lagi nih”
“ afwan ukh, masmuki?”
“oh iya, ana Dina Alfath ukh, ana min Jakarta syarqiyyah”
“jazakallahhu khayran katsiir ya ukh atas partisipasinya, ruuhul jihad ukh!. untuk lebih lanjutnya, nanti ana kerumah anty, ini no ana, 0852468664xx, sms alamatnya ya. assalamu’alaykum”
“wa’alaykumsalam”
Memoriku kembali berputar menuju sebuah penindasan penindasan yang pernah kulihat pada saudara saudaraku. Saudara saudariku yang tengah menghadapi para zionis terlaknat dan biadab.
“Negeri para nabi, tempat para rasul
Kini tlah berubah jadi kubur
Yahudi, kau terlaknat!”
Para zionis biadab yang telah membuat anak anak kehilangn sanak saudaranya. Dan kini menjadi yatim dan piatu. Kini ragaku tengah terpatri untuk membantu mereka. Kalaupun aku harus syahid, aku ikhlas. Karena jiwaku benar benar perih melihat pedihnya penderiataan saudara saudaraku di Palestina,
“pokoknya, Palestine will be free” gumamku dalam hati.
*****
Dengan ditemani kesibukanku sebagai seorang dokter dan mengasuh sebuah panti asuhan, waktu seakan begitu cepat. Tiga hari lagi aku akan berangkat ke sebuah negeri yang sangat membutuhkan sebuah bantuan.
Surat cuti selama dua minggu telah ku ajukan pada rumah sakit yang sebenarnya adalah rumah sakit milik Ayahku yang kini diurus oleh Mas Rian, kakak kandungku. Dan kini aku tinggal meminta do’a restu pada kedua orang tuaku.
“Aby, Umy, Insya Allah tiga hari lagi Riana berangkat. Mohon do’anya ya by, my.”
“ iya anakku, insya Allah aby sama umy sudah merestuimu. Semoga Allah menjagamu dan teman-temanmu ya. Jangan lupa shalat dan berdo’alah padanya, semoga langkah kalian semua dipermudah!”
“aamiin, syukran ya by. Assalamu’alaykum warahmatullahh. . ’
“Wa’alaykumsalam warahmatullahh. . . ”
Dari perbincanganku dengan aby dan umy, aku tahu bahwa ada sebuah kekhawatiran disana. Kekhawatiran pada seorang anak “gadis” semata wayangnya.
****
Setelah persiapan selesai, aku berangkat menuju bandara bersama teman-temanku yang semenjak kemarin menginap dirumahku. Dengan menggunakan taksi hampir selama 45 menit, akhirnya kami tiba dibandara.
“afwan kami agak terlambat, jalanan agak macet.” Ucapku.
“tak apa.” Jawab seseorang dengan singkat dan tenang.
Entah mengapa, perasaanku tak karuan mendengar suara itu. Suara yang sepertinya telah lama tidak kudengar.
****
Pesawat kami mengudara tepat pada pukul tiga siang. Sungguh betapa indahnya maha karyaNya yang begitu sempurna. Yang takkan pernah tertandingi oleh siapapun, bahkan oleh seorang professor dan manusia terjenius sekalipun.
Temanku Airin nampak tertidur setelah beberapa lama ia mendengarkan murattal dari mp3 playernya. Hanya aku dan beberapa orang yang saja yang masih tak terbuai dalam sebuah mimpi. Karena kali ini aku sengaja membawa novel favoritku “ Diorama Sepasang Albanna”, yang telah kubaca berulang-ulang kali. Sebuah buku yang kurasa begitu kompleks, dan tak pernah bosan untuk dibaca. Dengannya, kunikmati perjalanan yang tenang dalam dendangan pesawat yang menabrak awan.
****
Setelah beberapa jam, akhirnya pesawat kami mendarat. Para rombongan pun segera menuju sebuah bus yang akan membawa kami menuju posko untuk para relawan. Sesampainya diposko, ritual pun dimulai dengan mandi bergantian. Selepas mandi, kami shalat berjamaah disebuah mesjid dekat posko.
“Subhanallah, indah sekali ya ukh lantunan ayat dari imam tadi.” Ucap Ratih.
Aku hanya tersenyum dan mengangguk, tanda setuju.
“tapiii, kayanya ana kenal suara itu loh ukh.” Timpal Rena sembari mengingat-ingat.
“aha, ana tau itu suara siapa.” Ucapnya lagi.
“siapa ukh?” Tanya Ratih.
“Akhy Rasyiid!” jawabnya.
“ohhh” sahutku dan Ratih beriringan.
Sehabis shalat, kamipun tertidur dengan lelapnya.
****
Pagi yang cerah nan sejuk dinaungan bumi Palestina. Namun tiba-tiba terdengar ledakan keras dari arah luar mesjid. Kami yang telah menunaikan shalat subuh berjamaah berlarian menuju keluar mesjid.
“Mungkin ini sudah waktunya, bismillahh” gumamku sembari berlari menuju seorang anak kecil yang terkapar ditanah. Aku menggendongnya menuju posko pengobatan. Seorang anak laki-laki yang menggunakan baju koko dan peci. Dari pakaiannya, aku tahu bahwa ia baru selesai shalat bersama kami. Ia menangis dan mencoba menahan rasa sakit akibat terkena ledakan. Kakinya berlumuran darah dan kemungkinan ia. . . akan kehilangan kakinya.
Aku mengobatinya dengan hati-hati, karena aku tahu ia sedang kesakitan.
“Masya Allah, kasihan sekali anak ini.” lirihku.
Kakinya diamputasi setelah dilakukan operasi selama hampir tiga jam. Dan kini, kaki kananya telah hilang tak berbekas.
“Ya Rabbi, kuatkan ia.” Do’aku.
****
Satu jam kemudian, ia siuman dan mulai membuka matanya secara perlahan. Aku segera mendekatinya dan kuberi salam padanya.
“Assalamu’alaykum warahmatullahhi wabarakaatuh.”
“wa’alaykum. . . salllam warahma. . tullahh..i wabarakaatuh” sahutnya dengan terbata-bata.
Untuk beberapa saat, ia terdiam dengan sesekali melihatku.
“maa haazha mustasfha?” tanyanya
“Na’am, haazha mustasfha!” sahutku.
Ia terdiam dan sesekali memperhatikanku yang tepat berdiri disampingnya. Kemudian ia bercerita tentang keluarga, teman-temannya, dan banyak hal. Dengan cepat kami akrab bagaikan sepasang saudara. Darinya, aku tahu bahwa ia telah kehilangan sanak saudaranya. Dari ayah, ibu, kemudian adiknya yang bernama Aisyah. Bahkan hampir saja kuteteskan air mataku dihadapannya. Tapi aku tak tega menangis dihadapannya hingga akhirnya kutahan air mata ini agar tetap terjaga diperaduannya.
Setelah ia selesai bercerita, aku menawarinya untuk makan siang.
“ Anta jai’?” tanyaku dengan tersenyum padanya.
Ia tersenyum dan mengangguk. Akupun menyuapinya hingga akhirnya ia tertidur dalam dekapanku.
#####
Tanpa setahu Riana, ada seseorang yang sedang memperhatikannya dibalik dinding yang cukup transparan. Sesosok manusia itu adalah seorang ikhwan tampan yang bernama Rasyid Fikri. Seseorang yang semenjak di LDk dulu mengagumi sepak terjang Riana. Namun ia tak pernah mempunyai kesempatan untuk mengatakan maksud hatinya pada murabbi Riana. Karena begitu sibuknya ia dalam memimpin LDK sekaligus kuliah dan bekerja. Hingga akhirnya ia diwisuda dan lulus kuliah.
Hari demi haripun berlalu hingga akhirnya tepat satu tahun semenjak ia tak pernah melihat Riana lagi. Ia berjumpa kembali dengan Riana di Rumah sakit, tempat Ibunya dirawat karena penyakit diabetesnya dan Rianalah yang merawat Ibunya. Bahkan Ibunya menyukai sosok dokter muslimah seperti Riana. Yang begitu anggun dengan jilbab besarnya. Ujung-ujungnya, ia kembali meminta Rasyid untuk segera menikah dan mencari isteri seperti Riana.
“Rasyid, Ibumu ini sudah tua dan sakit-sakitan, Bapakmu sudah nda ada, usahamu sudah punya banyak cabang, adikmu sudah hampir lulus kuliahnya. Umurmu juga sudah 28 tahun, sudah waktunya untuk melengkapi separuh agamamu…” jelas ibunya.
Rasyid hanya terdiam dan merenungi apa yang dikatakan Ibunya.
####
Tanpa terasa, sudah tiga hari Riana dan teman-temannya di Palestina. Riana semakin akrab dengan masyarakat disana yang sungguh ramah. Ia membantu mengobati para korban yang terluka, ia mengajak anak-anak bermain, dan mengajari mereka tentang banyak hal. Namun tiba-tiba terdengar ledakan yang semakin lama semakin terdengar mendekat. Dengan sigap, ia membawa anak-anak itu menuju tempat berlindung dengan menggendong dan menggandeng tangan mereka satu persatu. Mereka menangis dan sesekali menyemarakkan kalimah Allah. Namun tanpa sepengetahuan Riana, ada seorang pria berkaos hitam dan bertopeng mengintainya dari kejauhan dengan sesekali berjalan mendekatinya. Dan tiba-tiba. . .
“dorrr!!”
Terdengar bunyi tembakkan dengan keras dari belakang yang beriringan dengan teriakan Airin. .
“ka Riana. . .awas!!”
Riana terjatuh dan seorang anak dalam dekapannya menangis. Tembakkan itu tepat mengenai kaki kanannya yang berusaha berlari menuju tempat untuk melindungi anak-anak yang ketakutan.
Melihat Riana terjatuh, Airin segera meminta pertolongan dari teman-temannya. kemudian datanglah Erna, Nadia, Aisyah dan Rina. Mereka membawanya kesebuah tenda khusus untuk mengobati korban yang terluka. Darah segar terus menetes dari kakinya sedangkan ia tak sadarkan diri untuk beberapa saat. Hingga beberapa jam kemudian, akhirnya Riana siuman. Dengan perlahan-lahan ia buka matanya yang telah beberapa jam tak terbuka.
“afwan ya ukhty kalau ana merepotkan antum” ucapnya pelan.
“gak papa ko ukh, gimana keadaan ukhty?” jawab Nadia dengan lembut.
“Alhamdulillah sudah enakan ko, insya Allah ana sudah gak papa.” Jawab Riana.
“ya sudah, anty istirahat saja dulu. Semoga cepat sembuh ya ukhty.” Do’a teman-temannya.
“aamiin” ucap mereka serentak.
****
Lima hari kemudian, Riana dan relawan lain kembali menuju Indonesia. Setelah beberapa jam menempuh perjalanan, akhirnya mereka tiba dibandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Para keluarga mereka juga telah menunggu kedatangan mereka disana. Dengan sedikit tertatih, Riana menuju kedua orang tuanya yang telah menunggunya. Terlihat gurat-gurat kerinduan dan kekhawatiran disana.
“Masya Allah Na, kakimu kenapa to nduk?” Tanya Ibunya, khawatir.
“Kaki Riana gak kenapa-napa ko umy, Cuma sakit sedikit saja.” Jawabnya dengan tersenyum dan mengajak kedua orang tuanya untuk segera menuju restoran.
Sesampainya direstoran, tanpa sengaja mereka bertemu dengan teman lama Ibunya.
“Hai jeng, ngapain disini?” ucap seorang Ibu-ibu dengan seorang anak kecil disampingnya.
“ini, habis jemput Riana.” Jawab Ibunya, seadanya.
“oh..ini Riana….? Yang seumuran sama anak saya Lisa kan?” Tebak Ibu itu.
“iya.” Sahut Ibu Riana dengan tersenyum.
“loh, suaminya ko gak jemput?” Tanya Ibu itu lebih detail.
“anak saya belum menikah Ci, ini cucumu ya? Putrinya Lisa?”
“belum nikah jeng? Umurnya sudah 26 to? Wah bisa-bisa gak…”
“Bu, makanannya keburu dingin tuh. Ayo dimakan dulu.” Ucap Riana, mencoba mendinginkan suasana.
****
Seminggu setelah kepulangan Riana dari Palestina, budenya datang kerumahnya.
“to the point aja ya Na, sebenarnya bude kesini untuk mengantarkan berkas ta’aruf untukmu.”
“ha? Si…siapa bude?” koment Riana dengan tergagap.
Karena ia hampir tak percaya mendengar ucapan yang baru saja disampaikan padanya.
“Namanya Rasyid Fikri Na, dua hari yang lalu dia meminta tolong pada Pamanmu untuk mencarikannya calon isteri. Setelah Pamanmu bilang bahwa kami memiliki keponakan yang belum menikah dan kami berikan berkas ta’arufmu, dia langsung menyetujuinya Na.” jelas budenya.
“a..apa? Rasyid Fikri?” Tanya Riana, tergagap.
“iya, insya Allah dia adalah lelaki yang baik, sopan, bertanggung jawab, mapan, dan insya Allah sholeh..” jelas Budenya lagi.
“Insya Allah..Riana mau bude.. !” ucapnya, mantap.
****
Riana terkejut melihat siapa yang berada dibalik pintu yang ia buka.
“wa’alaykumsalam warahmatullaahh.. silahkan masuk. Saya panggil Bapak sama Ibu dulu ya Pak, Bu. Silahkan duduk dulu..” pintanya
Riana hanya terdiam dikamarnya dengan sesekali mendengarkan pembicaraan dua keluarga yang sedang merancang masa depannya.
****
Tiga minggu berlalu….
Akhirnya, hari yang telah ditunggu-tunggu telah menjemput Riana yang kini tengah berdebar-debar hatinya. Hatinya gelisah, rasa takut dan bahagia bercampur padu. Hingga tepat pukul 8 pagi, Rasyid dan keluarganya tiba dirumahnya. Acarapun dimulai setelah 15 menit kemudian. .
“saya terima nikah dan kawinnya, Riana Anggraini binti Ahmad Yani dengan maskawin sebuah tasbih mutiara dan seperangkat alat shalat dibayar tunai!!” ucap Rasyid dengan lantang, mantap dan tenang.
“bagaimana para saksi?”Tanya penghulu.
“sah!!” ucap semua saksi.
“barakallahhulakuma wa baraka’alaykuma bikhayr. . .” do’a penghulu yang menikahkan.
Riana menangis bahagia dikamarnya, mendengar sebuah perjanjian yang diucapkan oleh seorang laki-laki yang kini telah sah menjadi suaminya. Sebuah perjanjian yang dimana arsy-pun ikut berguncang karena beratnya perjanjian yang dibuat olehnya didepan Allah, dan dengan disaksikan para malaikat dan manusia, kini mereka telah sah menjadi sepasang suami isteri.
Pohon-pohon menjadi saksi bisu pertautan cinta mereka. Sebuah cinta yang telah lama terpendam didasar hati yang teramat dalam. Tak ada satupun orang yang tahu selain mereka dan Allah tentunya. Kini, biarkan mereka menyemai benih-benih cintanya menjadi cinta yang sempurna karenaNya. . .
The End
Pohon-pohon menjadi saksi bisu pertautan cinta mereka. Sebuah cinta yang telah lama terpendam didasar hati yang teramat dalam. Tak ada satupun orang yang tahu selain mereka dan Allah tentunya. Kini, biarkan mereka menyemai benih-benih cintanya menjadi cinta yang sempurna karenaNya. . .
The End
PROFIL PENULIS
Nama pengarang : Hanida Ulfah
Nama Pena : Dinda Pelangi
"Sekarang, aku hanya mampu tuk tuliskan sebuah mimpi dan mimpi. .
tapi nanti. .
kan kugapai mimpi mimpiku
dan kugenggam dengan seerat-eratnya. . .
dan kan kuraih indahnya mimpi yang nyata. . ."
Dinda pelangi
Nama Pena : Dinda Pelangi
"Sekarang, aku hanya mampu tuk tuliskan sebuah mimpi dan mimpi. .
tapi nanti. .
kan kugapai mimpi mimpiku
dan kugenggam dengan seerat-eratnya. . .
dan kan kuraih indahnya mimpi yang nyata. . ."
Dinda pelangi