“Percaya sama ramalan bintang?? Uh, gak banget, deh!”
Dini memang paling tidak percaya dengan yang namanya ramal meramal. Apalagi ramalan bintang. Dia suka keki kalau melihat kedua sohibnya baca majalah, pasti rubrik zodiak yang pertama kali mereka baca. Mending kalau hanya sekedar iseng-iseng saja… nggak jarang, mereka bener-benar terpengaruh dengan isi ramalan di majalah yang dibacanya.
Ami, sobat Dini yang sebangku dengannya pernah nangis-nangis hanya gara-gara membaca isi ramalan di salah satu majalah remaja yang mengatakan, ‘Kekasihmu punya affair dengan wanita lain’. Lain lagi dengan Margi, sahabat Dini yang duduk di belakang bangku Dini dan Ami itu pernah membatalkan janjinya hanya karena tak berani keluar pas tanggal 13. “Menurut ramalan di majalah, hari ini merupakan hari sial aku, Din! Aku gak berani pergi ke mana-mana. Takut terjadi apa-apa.” Uh, nyebelin banget kan?
“Bintang kamu capricornus kan, Din?” tanya Margi di bangkunya, 15 menit sebelum bel masuk berbunyi.
“He’eh,” jawab Dini tanpa menoleh. Kepalanya yang berbalut kerudung putih rebah di atas meja. Malas.
“Mmh…”
Dini menegakkan kepala. Menoleh ke arah Margi yang masih menekuni majalahnya.
“Maksudnya apa, tuh?”
“Hah?”
“Deheman kamu barusan?”
“Oh…” Margi tak lantas menejawab. Matanya yang jeli belum bergeming dari lembar majalah yang sedang dibacanya.
Kening Dini mengerut. Makin bingung. “Margi!”
“Apa honey,” jawabnya tenang.
“Kamu bemum jawab pertanyaanku barusan!”
“Yang mana?”
“Duh… kamu kok jadi pikun begini, seh?!” Dini keki, “Maksud deheman kamu barusan apa?”
Margi tersenyum. Sukses dia menarik perhatian sahabatnya itu. “Ini Din, menurut ramalan bintang capricornus di majalah ini, ada seseorang yang diam-diam suka memperhatikan kamu. Yah, semacam penggemar misterius gitu kali, ya?”
“Eh, ganteng gak… ganteng gak?”
“Mmh… gak ditulis, tuh.”
“Yah… basi!” Dini kembali merebahkan kepalanya di meja.
Ami muncul tiba-tiba dari balik pintu kelas. Melempar tasnya ke meja. Mengeluarkan sebuah majalah dari dalam tasnya. “Liat deh, Din!”
“Apa?” jawabnya dengan mata yang setengah terpejam.
Ami mengguncang-guncang tubuh Dini, sampai gadis itu membuka mata lebar.
“Uh, gangguin orang aja!”
“Ini penting, Din. Dengar ya. ‘Asmara: Buka mata, buka telinga. Seseorang di sekolah kamu diam-diam memendam perasaan cintanya kepada kamu’, begitu kata ramalan bintang kamu minggu ini.”
“Hah?” Margi merebut majalah dari tangan Ami, “kok mirip-mirip sama ramalan di majalah yang lagi aku baca, sih?”
“Masa, sih?” Ami mengambil majalah milik Margi, dan membaca ramalan bintang di dalamnya.
Margi dan Ami tampak serius menekuni kalimat demi kalimat ramalan bintang capricornus di majalah. Sampai terdengar suara…
“Ggggrrrrooookkkhhhh…!” Suara dengkur si Dini yang tertidur lelap di mejanya.
Margi dan Ami bertukar pandang. Melihat ke arah Dini.
“Dasar peloooorrr!”
Bel masuk berbunyi. Para siswa mulai menempati mejanya. Dni masih saja asyik mendengkur. Kegemarannya menulis cerpen sampai larut malam, membuat gadis yang punya cita-cita menjadi penulis ternama itu sering ketiduran di dalam kelas. Sudah lumayan banyak cerpen-cerpennya yang dimuat di majalah remaja.
Bu Hartini, guru akutansi yang juteknya nggak ketulungan itu masuk ke dalam kelas. Emh… sepertinya sebentar lagi bakalan ada yang kena semprot, nih…
“Dinnnnniiiiiii…!!!”
Tuh, kan.
ooOoo
“Kayaknya si Fadil, deh.”
“Kalo menurut aku sih, si Koko.”
“Kalo Hendra gimana?”
“Atau… si Veejay?”
“Mmh…”
Kepala Dini mondar-mandir memandang ke arah Margi dan Ami, persis orang yang sedang menonton pertandingan bulutangkis. Saat itu mereka sedang berada di kantin sekolah pas jam istirahat pertama.
“Kalian pada ngomongin apaan sih?”
“Eh, menurut kamu siapa, Din?”
“Siapa apanya?” Dini bingung ditanya begitu olah Margi.
“Cowok!” tukas Margi, “Cowok yang diem-diem naksir sama kamu!”
“Veejay ya, Din?” sambar Ami, “Dia kan udah dari kelas satu naksir sama kamu.”
“Pasti Fadil yang tampangnya kayak almarhum Munir itu ya, Din?” Margi tak mau kalah, “Fadil pernah secara nggak langsung ngomong ke aku kalau dia naksir sama kamu.”
“Masa, sih?”
“Tapi aku sering memergoki si Koko, ketua kelas kita yang jangkung itu mencuri-curi pandang ke arah kamu,” ujar Margi.
“Ah, gak mungkin si Koko, dia kan udah punya Nia,” bantah Ami, “Kalo Hendra aku percaya.”
“Duh… nggak ngerti, ah!” Dini segera melarikan diri meningalkan kantin yang mulai sepi ditinggalkan para siswa, setelah puas mengisi perut mereka, dan kembali ke kelasnya masing-masing. Heran, kok bisa ya ada orang yang begitu terpengaruh dengan isi ramalan di majalah? Bagaimana mungkin, individu yang berbeda dengan zodiak yang sama, memiliki peruntungan yang sama pula?! Nonsense!
“Ups!” hampir saja Dini ditabrak seseorang ketika dia hendak masuk ke kelasnya.
“S-sori?” ucap seseorang yang wajahnya sangat rupawan. Bule. Begitu anak-anak kelas tiga biasa memanggilnya. Kakak kelas Dini yang jago main basket itu punya nama asli Dejan. Mamanya orang Jawa, papanya asli Montenegro.
“Ah, gak pa-pa, kok,” ucap Dini sambil menundukkan pandangnya, takut terkena sihir mata biru Dejan yang luar biasa indah. Tapi baru saja dia hendak melangkahkan kakinya, Dejan kembali membuka suara.
“Hei!” ucap Dejan membuat Dini urung melangkah, “Kamu Dini, kan? Yang cerpennya suka dimuat di majalah remaja?”
Dini mengangguk. Takjub. Kali ini dia tak berhasil menghindari mata biru Dejan.
“Wah… aku suka baca cerpen-cerpen kamu, lho… keren! Eh, ternyata kamunya juga keren!”
Dini melambung. Siapa yang tidak? Dipuji cowok sekeren Dejan, jelas bisa menaikan pasaran. Apalagi waktu Dejan mengucapkan itu, banyak teman-teman sekelas yang juga mendengarnya.
“Kapan-kapan kita ngobrol-ngobrol lagi, ya? Aku pingin banget biasa nulis cerpen seperti kamu.”
Lagi-lagi Dini hanya bisa mengangguk. Tak mampu berucap. Bahkan setelah Dejan meninggalkan senyum dan berlalu dari hadapannya. Dini masih saja membeku di tempatnya.
“Duh… ada yang mukanya berubah jadi kepiting rebus, nih…” goda Margi yang berdiri di sebelah Ami. Entah sejak kapan mereka ada di situ. Dini tidak menyadarinya.
Dini tersipu malu.
ooOoo
Sebuah majalah terkapar di atas meja beranda depan rumah Dini. Gadis manis itu tersenyum memungutnya. Dia selalu mendapatkan kiriman majalah itu setiap kali cerpennya dimuat di sana. Honornya lumayan. Bisa buat traktir teman-temannya.
Di kamarnya, Dini membuka-buka lembar demi lembar majalah. Sampai di rubrik Zodiak kamu. Biasanya Dini selalu melewatkan halaman itu. Tapi entah mengapa, kali itu dia tertarik membaca ramalan bintangnya. Mungkin Dini mulai ketularan kedua sahabatnya.
Asmara. Mmh… si dia sudah berani menyapa. Pelan-pelan saja. Kalo jodoh nggak bakal ke mana. Tiba-tiba Dini tersenyum.
Ups… kenapa Dini jadi terbayang-bayang wajah indonya si Dejan ya? Dini buru-buru menepis bayangan itu. Istigfar tiga kali. Tapi… nggak sukses! Wajah itu nempel seperti ketan di dinding ingatan, melekat di retina matanya. Ke manapun dia memandang, wajah Dejan ada di sana, di mana-mana. Bahkan di dalam tidur pun, wajah itu seolah tak rela melepaskan Dini dari bayang-bayangnya!
Dan cerita pun mengalir seperti sungai, berembus seperti angin. Bukan sekedar sapaan dengan sedikit senyum dan basa-basi di ambang pintu kelas lagi, Dini dan dejan jadi sering terlihat bersama-meski tak pernah hanya berdua-di sudut-sudut sekolah. Selalu ada Margi dan Ami, atau salah satu di antara keduanya yang menemani Dini dan Dejan. Dini yang menghendaki begitu, sebab walau mulai menikmati sihir mata biru Dejan yang mampu membuai siapa saja yang sengaja-maupun tak sengaja-memandangnya, seperti zat adiktif yang mampu menghadirkan halusinasi, dia tak berani sendirian berada bersama Dejan. Takut tenggelam dalam pesona mata birunya yang memabukkan. Dan untungnya Dejan tidak pernah merasa keberatan. Dia malah senang!
ooOoo
Jangan-jangan ramalan bintang itu benar? Jangan-jangan memang ada seseorang yang diam-diam lagi naksir aku? Jangan-jangan orang itu Dejan? Jangan-jangan…
“Hayo!” kejut Margi yang tanpa sepengetahuan Dini sudah menelusup ke dalam kamarnya, membuat Dini terlonjak. “Lagi ngelamunin Dejan, ya?”
“Idih, siapa bilang?”
“Alaaa… gak usah mungkir, deh! Muka kamu udah menjelaskan!” ledek Margi yang wajahnya nggak kalah keren sama artis sinetron itu.
“Ada apa dengan muka aku?” Dini meraba-raba wajahnya yang merona merah.
Margi mengembil cermin dan membentangkannya di hadapan Dini. “Liat aja sendiri, muka kamu udah persis seperti kepiting rebus! Masih mau membantah?”
Dini tersipu-sipu. Malu. Belakangan ini dia memang benar-benar telah menjadi tawanan bagi wajah tampan Dejan. Benar-benar tak mampu melepaskan diri. Jangan-jangan si Dini sudah jatuh cinta dengan pemilik mata biru itu? Wah, bakal jadi berita yang menghebohkan, nih. Dini memang belum pernah jatuh cinta dengan cowok sebelumnya. Cinta pertama? Mungkin. Tapi, Dini masih belum yakin dengan perasaannya.
“Baca deh, Din!” Margi memberikan majalah yang sudah terbuka halamannya kepada Dini. Rubrik ramalan bintang.
“Inilah saat yang paling tepat untuk menyatakan perasaanmu kepadanya,” Dini membaca ramalan asmara bintangnya.
“Tunggu apalagi?”
“Mana biasa begitu? Mana ada kamusnya cewek menyatakan cintanya lebih dulu ke cowok?! Lagipula, siapa yang suka sama Dejan?”
“Huh. Masih mau ngelak. Nanti kalo keduluan orang baru tau rasa, lho!”
“Biarin!”
“Bener, nih? Nggak nyesel?”
“NO WAY!”
Margi hanya tersenyum mendengar jawaban dari Dini.
ooOoo
Tingginya gunung dapat di daki, luasnya gurun dapat di seberangi, dalamnya lautan dapat diselami. Tapi, siapa dapat menerka isi hati? Meski Dini berusaha mati-matian mengingklari perasaannya, dia tak sanggup menyembunyikan perasaan dari dirinya sendiri. Dia bukan saja mulai memercayai ramalan bintang di majalah. Dia bahkan mulai berharap Dejan merupakan seseorang yang diam-diam menaruh hati kepadanya, seperti yang diramalkan di majalah. Sikap Dejan seolah menjawab harapan Dini. Tapi, mengapa Dejan belum mau juga menyatakan cintanya? Inilah saat yang tepat untuk menyatakan perasaanmu kepadanya, Dini teringat dengan ramalan bintang yang dibacanya di majalah beberapa waktu lalu. Tapi apa kata orang nanti kalau Aku menyatak cinta lebih dulu ke Dejan? Bisa-bisa Dejan malah tidak bersimpati kepadaku, dan lari menjauh. Lagipula, bagaimana dengan kerudungku ini? Rasanya…
Suara ponselnya berbunyi. Dini memungutnya dari meja belajar di samping ranjang tidurnya. Dejan? Nama itu muncul di monitor handphone-nya. Dini tersenyum. Lalu menerima telepon itu.
“Assalamu alaikum!”
“Waalaikumussalam.”
“Ada apa? Kok tumben nelepon aku, sih?”
“Mmm… begini, Din, sebenarnya udah lama aku mau ngomong ini ke kamu. Tapi aku malu. Nggak tau harus mulai dari mana.”
“Kenapa harus malu? Emang apa sih yang mau kamu omongin?” pancing Dini.
“Ehm… k-kamu mau ngga jadi…”
“Mau! Mau!” jawab Dini spontan sebelum Dejan menyelesaikan ucapannya.
“Hah? Yang bener, Din?”
“Bener…” kali ini Dini terdengar malu-malu.
“Wah, makasih ya, Din!” ucap Dejan senang, “Udah lama aku naksir sama Margi, makasih ya kamu mau nyomblangin aku sama Margi!”
Deg!
Dini membeku. Kelu. Tak tahu harus berkata apa. Handphone-nya terjatuh.
Dia mengumpulkan semua majalah yang ada ramalan bintangnya, membuangnya ke tong sampah, dan membakarnya!
ref:gaulislam.com